Selasa 07 May 2019 11:13 WIB

90 Orang Tewas Sepanjang Aksi Demonstrasi di Sudan

Demonstran meninggal karena menghirup gas air mata dalam jumlah yang berlebihan.

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Demonstrasi di Khartoum, Sudan pada 15 April 2019.
Foto: AP Photo/Salih Basheer
Demonstrasi di Khartoum, Sudan pada 15 April 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Komite Dokter Sudan (CCSD) melaporkan demonstrasi terhadap rezim pemerintahan Sudan yang digelar sejak Desember 2018 telah menewaskan setidaknya 90 orang. Korban yang tewas adalah peserta aksi protes akibat bentrokan dengan pasukan keamanan.

“Korban terbaru bernama Saad Mohamed Ahmed yang tewas karena peluru menembak perutnya,” ujar pernyataan CCSD dilansir Middle East Monitor, Selasa (7/5).

Baca Juga

Menurut CCSD, Ahmed tewas pada Sabtu (4/5) lalu, ketika terjadi demonstrasi di Nyala, sebuah kota di wilayah barat daya Sudan. Saat itu pasukan keamanan sedang mencoba membubarkan aksi protes yang terjadi.

CCSD meminta masyarakat Sudan yang memiliki informasi mengenai anggota keluarga yang menjadi demonstran dan tewas untuk melapor. Menurut komite itu, ada ‘pemadaman’ terhadap media-media yang dilakukan oleh pasukan keamanan di negara itu.

“Mereka (pasukan keamanan) masih berusaha melindungi pemerintah yang digulingkan negara,” ujar CCSD.

CCSD mengaku menghadapi banyak kesulitan saat mendokumentasikan kasus-kasus kematian para demonstran. Namun, komite itu mengatakan terus berupaya mendapatkan data-data dan informasi, hingga mencapai kesimpulan yang mereka sebarkan saat ini. Mereka juga memiliki nama-nama dari 90 orang yang tewas sejak aksi protes di Sudan digelar.

photo
Tentara Sudan berpatroli sementara demonstran melakukan aksinya di dekat gedung Kementerian Pertahanan di Khartoum, Sudan, Selasa (9/4).

Dari 90 nama itu, menurut CCSD tidak seluruhnya hanya terkena tembakan pasukan keamanan. Namun, para demonstran itu meninggal karena menghirup gas air mata dalam jumlah yang berlebihan. Kemudian, beberapa diantaranya juga dengan sengaja ditabrak kendaraan milik pasukan keamanan Sudan.

Gelombang demonstrasi nasional yang tak kunjung usai dalam empat bulan terakhir telah membuat mantan presiden Omar al-Bashir harus mengundurkan diri dari jabatannya pada 11 April lalu. Ia yang telah memimpin Sudan sejak 1989 melalui sebuah kudeta militer pernah mendapat tuntutan dari ICC setelah aksinya mengerahkan pasukan militer di Darfur, Sudan Barat, di mana konflik berlangsung di wilayah itu sejak 2003.

Pascapengunduran diri al-Bashir, dibentuklah dewan transisi militer (MTC) yang dikepalai Jenderal Ibn Auf, yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan. Dia mengatakan bahwa dewan militer akan memerintah selama dua tahun. Selain itu, Ibn Auf memberlakukan jam malam dan memutuskan menangguhkan konstitusi.

Rakyat Sudan tak dapat menerima hal itu karena dianggap tak sejalan dengan semangat reformasi yang mereka suarakan. Di sisi lain, mereka memandang Ibn Auf sebagai tokoh yang memiliki kedekatan dengan al-Bashir. Rakyat Sudan pun melanjutkan aksi demonstrasinya. Mereka bersumpah tidak akan berhenti melakukan aksi protes hingga semua tuntutannya terpenuhi.

Gelombang desakan akhirnya membuat Ibn Auf memutuskan mundur dari posisinya sebagai kepala dewan transisi militer. Jabatan tersebut hanya dia emban selama sehari, kemudian diserahkan kepada Letjen Abel Fattah Burhan. Saat ini, Burhan sedang berupaya memenuhi semua tuntutan rakyat Sudan, termasuk membersihkan pemerintahan dari tokoh-tokoh yang menjadi bagian dari rezim al-Bashir.

Meski demikian, rakyat Sudan terus menggelar aksi demonstrasi dan turun ke jalan-jalan di negara itu. Mereka tetap menuntut agar MTC segera menyerahkan kekuasaan terhadap pemerintah sipil yang terpilih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement