Selasa 07 May 2019 11:25 WIB

Myanmar Bebaskan Dua Wartawan Reuters

Kedua wartawan Reuters bebas melalui amnesti massal.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Dua jurnalis Reuters Wa Lone (kiri) dan Kyaw She Oo melambaikan tangan saat berjalan keluar dari Penjara Insein di Yangon, Myanmar, Selasa (7/5).
Foto: AP Photo/Thein Zaw
Dua jurnalis Reuters Wa Lone (kiri) dan Kyaw She Oo melambaikan tangan saat berjalan keluar dari Penjara Insein di Yangon, Myanmar, Selasa (7/5).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Dua wartawan Reuters yang dipenjara di Myanmar bebas dari kurungan penjara di pinggiran Yangon, Selasa (7/5) waktu setempat. Kedua wartawan yang dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi Myanmar itu telah menghabiskan lebih dari 500 hari di balik jeruji besi.

Kedua wartawan, Wa Lone (33 tahun) dan Kyaw Soe Oo (29) dihukum pada September dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Keduanya menghadapi kasus yang menimbulkan pertanyaan tentang kemajuan Myanmar menuju demokrasi sehingga memicu protes dari diplomat dan pembela hak asasi manusia.

Baca Juga

Pembebasan keduanya dilakukan usai Presiden Win Myint memaafkan ribuan tahanan lain dalam amnesti massal sejak bulan lalu. Sudah menjadi kebiasaan di Myanmar bagi pihak berwenang untuk membebaskan tahanan di seluruh negara sekitar saat Tahun Baru tradisional, yang dimulai pada 17 April.

Reuters mengatakan, kedua wartawannya tidak melakukan kejahatan apa pun sehingga menyerukan pembebasan mereka. Dibanjiri oleh media dan simpatisan ketika mereka berjalan melewati gerbang Penjara Insein, Wa Lone yang menyeringai mengacungkan jempol dan mengatakan ia bersyukur atas upaya internasional untuk kebebasan mereka.

"Saya sangat senang dan bersemangat melihat keluarga dan kolega saya. Saya tidak sabar pergi ke ruang redaksi saya," kata Wa Lone.

Sedangkan Kyaw Soe Oo tersenyum dan melambai kepada wartawan. Sebelum ditangkap, keduanya melakukan penyelidikan atas pembunuhan 10 pria dan anak laki-laki Muslim Rohingya oleh pasukan keamanan dan warga sipil Budha di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat selama penumpasan tentara yang dimulai pada Agustus 2017. Operasi itu menyebabkan lebih dari 730 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Laporan yang ditulis oleh kedua wartawan menampilkan kesaksian dari para pelaku, saksi, dan keluarga para korban. Laporan mereka pun dianugerahi Penghargaan Pulitzer untuk pelaporan internasional pada Mei. Hal tersebut menambah sejumlah penghargaan yang diterima oleh pasangan tersebut untuk jurnalisme mereka.

Kendati demikian, komentar dari juru bicara pemerintah Myanmar tidak segera dijawab. Pemimpin Redaksi Reuters Stephen J Adler mengatakan, ia senang dengan berita pembebasan dua wartawannya.

"Kami sangat senang Myanmar telah membebaskan reporter pemberani kami, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. Sejak penangkapan mereka 511 hari yang lalu, mereka telah menjadi simbol pentingnya kebebasan pers di seluruh dunia. Kami menyambut kembalinya mereka," kata Adler.

Mahkamah Agung Myanmar menolak banding terakhir jurnalis pada April lalu. Kedua wartawan itu mengajukan petisi ke pengadilan tinggi negara itu, dengan mengutip bukti pengaturan polisi dan kurangnya bukti kejahatan setelah Pengadilan Tinggi Yangon menolak banding sebelumnya pada Januari.

Istri wartawan menulis surat kepada pemerintah pada April memohon grasi. Wartawan Reuters dibebaskan dari penjara atas dialog Lord Ara Darzi, seorang ahli bedah Inggris dan ahli perawatan kesehatan yang menjabat sebagai anggota kelompok penasihat pemerintah Myanmar pada reformasi di Negara Bagian Rakhine dan seorang perwakilan Reuters.

"Hasil ini menunjukkan dialog bekerja, bahkan dalam keadaan yang paling sulit," kata Darzi.

Dalam sebuah pernyataan, Darzi mengatakan, diskusi pengampunan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo melibatkan pemerintah Myanmar, Reuters, PBB, dan perwakilan dari pemerintah lain. Namun, ia tidak memberikan perincian lebih lanjut.

Darzi telah menginformasikan tentang upayanya mengamankan pembebasan kedua wartawan. Perusahaan pun bersyukur atas peran Darzi dalam mewujudkannya.

Darzi telah menjadi anggota komisi penasihat yang dibentuk guna melihat yang melalui saran dari sebuah panel yang dipimpin oleh mantan kepala PBB Kofi Annan tentang penyelesaian konflik yang telah berlangsung lama di wilayah barat Myanmar di negara bagian Rakhine.

Negara Bagian Rakhine di Teluk Bengal adalah rumah bagi sebagian besar Muslim Rohingya di Myanmar. Ratusan ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh setelah tindakan keras pimpinan militer di wilayah itu pada 2017.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement