REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tekad kuat menjadi kunci keberhasilan. Suatu saat, seseorang pernah bertanya kepada Ibnu al-Jauzi. Orang tersebut menanyakan perihal boleh pkah ia bersenang-senang dan berhibur sejenak untuk melupakan sementara waktu akan kepenatan hidup?
Ibnu al-Jauzi yang di kenal pakar dan piawai itu pun menjawab, “Jangan biarkan dirimu la lai,” kata tokoh yang bernama lengkap Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin al-Jauzi al-Qurasyi al- Baghdadi itu.
Demikian juga dengan Ahmad bin Hanbal. Ia memberikan doktrin kepada buah hatinya untuk tetap ber tekad kuat dan tidak mudah tergelincir. “Wahai anakku, aku telah berikan komitmen keseriusan dari diriku,” kata pendiri Mazhab Hanbali tersebut. Sang anak pun berbalik bertanya, kapankah ia mesti beristirahat untuk memanjakan di ri? Ah mad bin Hambal yang juga pa kar ha dis itu pun mengatakan, “(Nanti), saat kaki pertama melangkah di surga.”
Seberapa pentingkah memiliki tekad (himmah) yang kuat bagi seorang Muslim? Termasuk juga ber citacita tinggi? Syekh Hasan bin Sa’id al-Hasaniyah dalam bukunya ber judul Al-Qamam Ya Ahl al-Himam memaparkan ada setidaknya empat alasan, mengapa seorang Muslim dituntut mempunyai tekad bulat dan cita-cita mulia.
Alasan pertama yang ia kemukakan ialah bahwasanya setiap manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana di tegaskan ayat 56 Surah Adz dzaa riyaat. Dan, beribadah itu tak cukup hanya dengan ritual biasa; selesai begitu saja dengan ditunaikannya iba dah.
Alasan kedua, hidup di dunia ada lah peperangan antara semangat kebajikan dan nafsu angkara. Ke dua hal itu saling berlomba untuk mendominasi satu sama lain. “Apa kah manusia itu mengira bahwa me reka dibiarkan (saja) mengatakan, “Ka mi telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji lagi?” (QS al-Ankabuut [29] : 2). Tanpa tekad kuat, sulit untuk tetap bertahan dan tampil sebagai pemenang.
Alasan ketiga, Islam adalah agama yang menekankan produktivitas dan karya nyata. Sayyid Qutub da lam kitab tafsirnya Fi Dhilal al-Qur an, mengomentari ayat ke-12 dari surah Maryam. Ia mengatakan atas izin Allah, Nabi Yahya mewarisi tonggak kepemimpinan dan estafet kenabian dari sang ayah, Zakaria. Yahya AS pun akhirnya menerima tu gas tersebut dengan segenap ama nat, kemampuan, dan komitmen tinggi. Ia bertekad tidak akan mundur dari kewajibannya itu.
Sedangkan alasan yang keempat, peradaban ‘pesaing’ Islam senantiasa menunggu generasi muda mereka la lai. Sekejap saja tidak waspada ma ka dengan mudahnya mereka akan mengubah pola pikir, gaya hi dup, dan cara berinteraksi mereka se hari. De ngan demikian, bukan ti dak mungkin posisi negara-negara Islam dalam kancah percaturan du nia akan kian terpuruk.
Lantas, bagaimanakah tekad itu bisa mengantarkan seseorang ke puncak kesuksesan? Syekh Hasan bin Sa’id al-Hasaniyah mengutarakan beberapa hal mendasar yang mesti di perhatikan agar tekad itu bisa men jadi kunci keberhasilan. Yaitu keikhlasan. Membersihkan hati dari riak-riak duniawi. “Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya me nyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. al- Bayyinah [98] : 5).
Kunci berikutnya ialah konsistensi diri. Lurus atau tidaknya sebuah tekad erat kaitannya dengan ko mitmen dan istikamah. Sulit rasa nya, bila seseorang hendak mendaki tangga kesuksesan, sementara pada saat yang sama ia bermasalah dengan kejiwaan dan manajemen personalnya. Inilah, kata Ibnu Katsir dalam kitabnya tafsrinya, yang maksud dari ayat: “Hai orang-orang yang ber iman, jagalah dirimu.” (QS al- Maa idah [5] : 105).
Perkara yang tak kalah penting ialah semangat berkompetisi dan bersaing positif dalam hal-hal kebaikan. Dan, bagi seorang Muslim, perlombaan yang utama ialah kompetisi yang menitikberatkan pada tindakan positif. Ibnu Rajab menga takan, dalam kitab Al-Lathaif, konon ketika para salaf mendengar ayat ke- 148 surah al-Baqarah dan ayat ke-21 surah al-Hadid, mereka bersedih saat mengetahui orang lain telah terlebih dahulu mengerjakan kebaikan.
Tetapi, menurut Ibnu Rajab yang bermazhab Hanbali itu, kondisi saat ini telah berubah. Justru, orang ber lomba-lomba dalam sisi negatif dan lebih condong ke dunia. Hasan al- Bashri mengatakan, “Jika engkau me lihat orang lain mengunggulimu da lam hal dunia maka saingi dia de ngan akhirat.”
Selanjutnya, hal yang bisa dila ku kan ialah memotivasi diri dengan berkaca pada prestasi yang sa laf. Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, diketahui setelah me ninggal ternyata ia memberi makan para ke luarga yang tinggal di 100 rumah se kitar Madinah.
Ada lagi Atha’ bin Rabah yang hidup 100 ta hun dan berhaji 70 kali. Ia membaca 200 ayat Alquran dalam tiap rakaat shalat. Ibnu Hajar al-Asqalani mengarang Fath Al Bari saat berusia 32 tahun. Ada pula Ibnu Aqil yang mengarang lebih dari 800 karya. Jadi, se patutnya Muslim ber tekad kuat.