REPUBLIKA.CO.ID, KABUL — Mohammed Gul (56 tahun) berjalan melewati deretan pedagang asongan di jalan Kabul yang ramai. Dia mengangguk cemas setiap kali selesai mananyakan harga sayur dan buah. Harga-harga melonjak dengan datangnya bulan suci Ramadhan di Afghanistan.
“Apakah Anda, sebagai Muslim, harus menaikkan harga 10, 15, dan 25 persen karena Ramadhan,” Gul bertanya pada pedagang sayur dan buah. Kesabarannya mulai habis ketika para pedagang malah mencoba meyakinkannya.
Pedagang beralasan tidak memiliki tanggung jawab atas berbagai kenaikan harga di pasar. Sebab, mereka juga mengeluhkan hal sama dengan para pembeli.
“Paman, saya sendiri adalah orang miskin dan tahu bagaimana perasaan Anda, kami tidak bertanggung jawab atas kenaikan itu,” ujar seorang penjaja bernama Zabihullah kepada Gul.
Zabihullah mengatakan, pengusaha yang terlibat dalam ekspor dan impor atau membawa barang ke pasar utama adalah yang bertanggung jawab menentukan harga.
Tidak hanya Gul, calon pembeli lain juga marah atas kenaikan harga pada bulan Ramadhan. Sebab, mereka mengatakan, sejumlah kerabat di luar negeri bercerita bahwa supermarket dan toko menurunkan harga selama bulan suci.
“Ramadhan adalah bulan berkah, pengampunan, dan waktu untuk membantu orang miskin dan satu sama lain,” kata seorang warga, Hakimullah, kepada Arab News, Senin (6/5).
Karena itu, dia menganggap para pedagang di Afghanistan sangat rakus dan tidak takut kepada Tuhan YME dengan menaikkan harga untuk kepentingan mereka.
Dia mengatakan, pemerintah yang terjebak dalam perang dengan Taliban dan dilanda keretakan internal tidak memantau harga pasar. Dia meyakini, pejabat di Kementerian Perdagangan tidak akan mengatakan pemerintah memiliki mekanisme untuk mengendalikan biaya. Pemerintah kota yang ditugaskan memantau harga tidak terlihat di pasar utama Kabul pada Senin (6/5).
Pedagang lain mengatakan, alasan kenaikan harga adalah devaluasi mata uang lokal, afghan. Namun, banyak pembeli tidak sepakat dengan anggapan itu. Sebab, kenaikan harga terjadi setiap kali Ramadhan tiba.
Warga Afghanistan kelas menengah ke atas tidak merasakan kenaikan harga-harga itu. Sebab, mereka mengimpor barang-barang kebutuhan dari Australia, Prancis, dan Turki.
Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin meningkat di Afghanistan, meskipun ada aliran ratusan miliar bantuan asing sejak penggulingan Taliban. Dalam pidato Ramadhannya, Presiden Ashraf Ghani mendesak warga menunjukkan solidaritas dan membantu orang-orang yang membutuhkan.