REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut ada 600 laporan dugaan pelanggaran Pemilu yang masuk ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebanyak 441 temuan di antaranya diselesaikan melalui mekanisme non-litigasi atau bukan proses pidana.
"Artinya dilakukan proses mediasi, bukan proses hukum, karena bukan tindak pidana. Hampir dua per tiga (laporan) itu adalah non litigasi," kata Tito dalam rapat evaluasi Pemilu Serentak bersama DPD RI, Selasa (7/6).
Kemudian, kata Tito, sebanyak 159 kasus dinyatakan memenuhi syarat untuk diproses secara hukum atau litigasi. Sebanyak 123 di antaranya telah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ada 23 perkara yang dinyatakan dihentikan atau SP3. "Karena tidak memiliki unsur (pidana) atau kadaluarsa," ucap Tito.
Penidakan hukum pelanggaran pemilu berbeda dengan pidana biasa. Menurut Tito, pidana pemilu mengacu kepada Undang-undang Pemilu dan buksn KUHAP. "Proses waktu yang terbatas hanya tiga minggu proses hukumnya, lewat dari itu kadaluarsa tidak bisa dilaporkan kembali," paparnya.
Selanjutnya, kata Tito, ada 113 perkara yang masih dalam tahap penyidikan. Jenis kasus yang sedang ditangani juga beragam. Misalnya, pemalsuan KTP, surat suara, kampanye di luar jadwal dab tidak menyerahkan salinan daftar pemilih tetap (DPT).
Jenderal bintang empat itu menjelaskan, pelanggaran-pelanggaran pemilu yang terjadi meliputi kasus politik uang sebanyak 38 perkara, tindakan menguntungkan atau merugikan pasangan calon 28 perkara. Lalu menghina peserta pemilu satu perkara, Kampanye menggunakan pihak-pihak yang dilarang ada 13 perkara, kampanye di tempat ibadah dan pendidikan 15 perkara.
Terdapat pula penggunaan fasilitas pemerintah ada 10 perkara, perusakan alat peraga kampanye 7 perkara, menghasut dan adu domba ada dua perkara. Lalu, terdapat kasus menghalangi jalannya kampanye sebanyak tiga perkara, serta mencoblos lebih dari satu kali yang terbukti sebanyak tiga perkara.