REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto angkat bicara terkait penetapan tersangka eks ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustaz Bachtiar Nasir (UBN). Prabowo menganggap upaya tersebut merupakan upaya kriminalisasi terhadap ulama.
"Kami menganggap ini adalah upaya kriminalisasi terhadap ulama dan juga upaya membungkam pernyataan-pernyataan sikap dan tokoh-tokoh masyarakat dan unsur-unsur elemen dalam masyarakat," kata Prabowo di kediamannya di Kertanegara, Jakarta, Rabu (8/5).
Prabowo menilai kasus yang menjerat UBN adalah kasus lama yang coba diangkat kembali. Padahal, setelah diperiksa dari berbagai segi sama sekali tidak ada unsur kejahatan atau pidana dalam peristiwa tersebut.
Mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus tersebut menduga langkah penetapan tersangka terhadap UBN terjadi setelah adanya sikap melalui Ijtima Ulama III. Prabowo berpandangan, demokrasi menjamin hak setiap individu untuk menyampaikan pendapat.
"Ini adalah hak yang paling dasar dalam sebuah demokrasi. Dan ini dikaitkan juga dengan pernyataan petinggi-petinggi pemerintah yang seolah-olah justru mengancam kebebasan menyatakan pendapat," ucap Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Polisi menetapkan UBN sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencucian uang dana Yayasan Keadilan untuk Semua. Dana tersebut merupakan sumbangan dari masyarakat.
Bachtiar menjelaskan bahwa dana sumbangan masyarakat tersebut pada 2017 lalu digunakan untuk aksi 212 dan untuk membantu korban bencana alam di Aceh dan di NTB.
Namun, polisi menganggap penetapan tersangka terhadap Bachtiar Nasir telah memenuhi prosedur hukum. Polri menyebut ada dua alat bukti yang menjerat UBN.
"Yang pertama dari hasil pemeriksaan, keterangan tersangka AA. AA perannya mengalihkan kekayaan yayasan. Oleh karena itu, kepada yang bersangkutan diduga melanggar Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, demikian juga juncto Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Yayasan, serta juga Pasal 374 juncto Pasal 372 KUHP," kata Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (8/5).
Kemudian, sambung Dedi, alat bukti kedua adalah hasil audit rekening YKUS. Ia menyebutkan, berdasarkan hasil audit tersebut, penyidik menemukan terdapat aliran dana umat yang digunakan untuk kegiatan yang tak sesuai peruntukannya.
"Dari alat bukti lain, penyidik sudah memeriksa rekening. Jadi, ada penyimpangan penggunaan rekening. Ini adalah dana umat, dana masyarakat, tapi peruntukannya bukan untuk bantuan, tapi untuk kegiatan-kegiatan lain. Ini sudah diaudit," ucap Dedi.
Dedi menjelaskan, indikasi penyelewengan dana yayasan oleh Bachtiar ini diperkuat dengan keterangan mantan manajer sebuah bank berinisial I. I juga telah ditetapkan penyidik sebagai tersangka kasus dana YKUS pada 2017 lalu.
"Demikian juga dari keterangan yang diberikan I, dia yang terima kuasa dari Pak BN untuk mencairkan sejumlah uang. Kepada yang bersangkutan (I) juga dikenakan Pasal 63 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah," paparnya.
Masih berdasarkan hasil audit rekening, sambung Dedi, jumlah uang yang diduga diselewengkan adalah Rp 1 miliar. "Dari hasil pemeriksaan sementara terhadap tersangka dan para saksi yang dimintai keterangan, ini sejumlah Rp 1 miliar," ujarnya.