REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Perjalanan dua pekan melintasi gunung dan sungai ditempuh Senwara Begum ke Malaysia. Perjalanan itu tidak diketahui oleh Begum sebelumnya. Dia ke Malaysia ternyata untuk menikahi pria yang belum ia kenal dan temui sebelumnya.
Keberangkatan dia dimulai dari kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, tempat ia dilahirkan 23 tahun lalu. Di sana, kekhawatiran meningkat untuk jumlah perempuan muda dan bahkan anak perempuan diselundupkan melintasi perbatasan untuk menikahi pria Rohingya yang berada di luar negeri.
Kamp Kutupalong, Cox's Bazar menjadi tempat Begum tumbuh. Kamp tersebut menjadi tempat pengungsi terbesar di dunia pada 2017. Hal itu terjadi ketika operasi militer Myanmar yang oleh PBB dinilai sebagai genosida, menargetkan minoritas yang mayoritas Muslim di daerah Rohingya.
Kamp yang penuh sesak itu tidak memiliki keamanan bagi perempuan, di mana hanya sedikit ruang privasi bagi para perempuan. Tempat penampungan tersebut terbangun dari hanya sedikit terpal plastik sederhana yang ditopang oleh bingkai bambu.
Aktivis Rohingya dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan, puluhan perempuan secara teratur tiba di Malaysia untuk menikah dengan pria Rohingya. Hal itu menghidupkan kembali bentuk perdagangan manusia transnasional.
"Kami berpergian melalui darat, kadang berganti mobil. Kami berangkat dari kamp, dan sampai ke perbatasan India, lalu kami menuju Malaysia. Ada tiga dari kami, satu perempuan dan pria (yang mendagangkan kami)," kata Begum kepada Aljazirah.
"Saya tidak tahu perdagangan manusia, jadi saya takut dilecehkan oleh mereka. Sebab saya pernah mendengar cerita tentang pelaku perdagangan manusia yang memperkosa, melecehkan, dan memukuli orang, jadi saya takut," tambahnya.
Perkawinan dan perjalanan para perempuan itu biasanya diatur oleh pria Rohingya, yang lebih dulu diselundupkan ke Malaysia, namun tak dapat menikahi perempuan lokal. Tanpa dokumen, para pria Rohingya di luar negeri tidak dapat melakukan perjalanan kembali ke Myammar atau kamp-kamp pengungsi Bangladesh untuk menikah. Sehingga, dokumen pernikahan dikirim melalui teman dan kerabat, sehingga membuat pengaturan untuk pernikahan yang melibatkan banyak persetujuan dari para gadis di kamp Bangladesh atau Myanmar.
Fortify Rights baru-baru ini mendesak Malaysia untuk menangani pernikahan anak. Badan hak asasi manusia itu mengambil bukti dari 11 wawancara dengan pengantin anak atau kerabat mereka di Bangladesh dan Malaysia.
"Satu rute baru-baru ini yang didokumentasikan oleh Fortify Rights adalah rute darat yang rumit dari Myanmar ke Bangladesh, India, dan kemudian ke Negara Bagian Chin di Myanmar dan melalui kota-kota Mandalay dan Yangon, akhirnya melintasi perbatasan Myanmar-Thailand dan kemudian ke Malaysia," kata seorang peneliti Fortify Rights John Quinley.
Menurutnya, pengungsi Rohingya di Cox's Bazar memiliki beberapa pilihan. Mereka tidak dapat bekerja dan tidak memiliki akses formal ke pendidikan. Pengungsi Rohingya di Bangladesh takut dipulangkan atau relokasi ke pulau itu.
"Semua faktor pendorong ini dapat mengarah pada peningkatan nyata dalam keluarga Rohingya termasuk anak perempuan yang memicu mereka pindah ke Malaysia, beberapa untuk pernikahan anak," kata Quinley.
Sejak masuknya pengungsi ke Bangladesh pada 2017, upaya penyelundup manusia bagi Rohingya dengan perahu telah dihentikan oleh penjaga pantai Bangladesh. Namun, dalam setahun terakhir, telah terjadi peningkatan pergerakan Rohingya yang sebagian besar melalui rute darat panjang dari Bangladesh.
Seorang aktivis Rohingya di Thailand yang meminta anonimitas mengatakan, bahwa tidak mungkin untuk mengetahui dengan pasti berapa banyak orang Rohingya yang memasuki Malaysia. Namun kini ada aliran orang yang konstan.
Aktivis pun menunjukkan foto hasil laporan tentang perempuan dan gadis muda yang ditangkap oleh otoritas Thailand pada Februari. Ia mengatakan bahwa mereka ditangkap di rumah persembunyian setelah tetangga melaporkannya.
Pengakuan muncul dari Hamida (30 tahun) yang tinggal di kamp pengungsi Bangladesh. Ia mengatakan, putranya yang berada di Malaysia mengatur pernikahan dengan membawa seorang gadis 15 tahun dari Myanmar ke Bangladesh. "Gadis ini takut dengan perjalanan ke Malaysia, tapi apa yang bisa kita lakukan? Semuanya sudah diatur," ujar Hamida.