REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif memberi peringatan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bila berinvestasi dengan China. Hal tersebut ia ungkapkan dalam acara Seminar Sehari bertema 'Bersama Menciptakan BUMN Bersih Melalui Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang Tangguh dan Tepercaya' di Gedung KPK Jakarta, Kamis (9/5).
Dalam kesempatan tersebut, Syarif mengungkapkan dari informasi tentang Laporan Global Study on Occupational Fraud and Abuse 2018, China tidak memiliki standar yang baik dalam lingkungan, hak asasi manusia, dan Good Corporate Governance (GCV).
"Good Corporate Governance di China itu adalah salah satu yang asing bagi mereka. Oleh karena itu, mereka menempati tempat yang pertama fraud improper payment. Dan kita tahu, mereka invest banyak di sini," ujar Syarif.
Ia pun membandingkan negara-negara di Eropa seperti Inggris ataupun Amerika Serikat. Menurut Syarif di negara-negara tersebut, terdapat pengawasan yang ketat dalam berinvestasi. Sehingga ia memberi peringatan terhadap BUMN agar berhati-hati saat bekerjasama dengan China.
"Dari laporan Globl Study on Occupational Fraud and Abuse paling banyak yang melakukan pembayaran tak seharusnya adalah China, dan kita Indonesia juga kena, makanya kita pas mereka melakukan investasi kita harus hati-hati. Karena kalau negara Eropa atau Amerika Serikat, kalau menyuap pejabat negara asing itu mereka bisa dihukum di negaranya, kalau di China belum ada aturan itu," terang dia.
Menurut Syarif, KPK juga sudah ikut meyakinkan Mahkamah Agung (MA) membuat Peraturan Mahkamah Agung no. 13 Tahun 2016 mengenai tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. Syarif menjelaskan, bahwa berdasarkan Perma tersebut, salah satu perbuatan dan bentuk kesalahan dari korporasi yang menyebabkan korporasi dapat dipidana adalah jika tidak melakukan upaya Pencegahan.
"Maka dari itu, KPK berupaya mendorong BUMN untuk dapat menerapkan sistem Pencegahan korupsi di dalam perusahaan dengan menerbitkan Buku Panduan Pencegahan Korupsi untuk Dunia Usaha (Panduan CEK). Bukan sekedar memiliki peraturan diatas kertas tetapi yang terpenting adalah implementasi dari peraturan tersebut yang dijalankan dengan efektif," kata Syarif.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survey & Konsultan, Kementerian BUMN, Gatot Trihargo mengatakan, penerapan GCV di BUMN untuk mendorong kinerja yang berkelanjutan. Menurutnya, saat ini perspektif kinerja BUMN, tidak hanya memfokuskan pada kinerja keuangan tetapi juga penerapan GCV.
"Penerapan GCV yang tidak baik menjadi early warning signal dari Kementerian BUMN dalam pembinaan BUMN, antara terkait dengan upaya pencegahan dan penindakan korupsi. Salah satu penerapan GCV yang baik adalah pentingnya peran SPI dalam melakukan pengawasan internal, sehingga menjadi bagian dari upaya pencegahan tindak pidana korupsi, serta penguatan perannya dalam melakukan pengawasan internal perusahaan," tuturnya. Oleh sebab itu, lanjut dia, sangat penting untuk melakukan penyempurnaan regulasi GCG di BUMN yang terkait dengan peran SPI.
Sementara Ketua FKSPI BUMN, Saiful Huda mengatakan, penyempurnaan regulasi tentang SPI sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi. Menurutnya, standarisasi fungsi SPI BUMN antara lain mencakup organisasi, sumber daya manusia dan metodologi ruang lingkup pemeriksaan oleh SPI BUMN, yang mencakup seluruh obyek audit di BUMN dan anak perusahaannya.
"Pembentuka SPI yang terintegrasi antara BUMN dan anak perusahaannya, agar fungsi pengawasan intern dapat dikonsolidasikan," ujarnya.