REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi kembali disebut dalam sidang tuntutan kasus suap antara pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan KONI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (9/5). Jaksa Penuntut Umum KPK Ronald F Worotikan menyebut Imam bersama-sama stafnya melakukan permufakatan jahat secara diam-diam.
"Adanya keikutsertaan para saksi tersebut dalam suatu kejahatan yang termasuk dalam permufakatan jahat diam-diam atau disebut sukzessive mittaterschaft," kata Jaksa Ronald saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Jaksa meyakini uang yang diterima untuk kepentingan Imam dan diserahkan melalui staf pribadinya, Miftahul Ulum. "Sebagaimana keterangan terdakwa dan diperkuat pengakuan Johny E Awuy terkait adanya pemberian jatah komitmen fee secara bertahap yang diterima Miftahul Ulum dan Arief Susanto guna kepentingan Menpora RI yang seluruhnya Rp 11,5 miliar," ujar jaksa Ronald.
JPU KPK menuntut Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy empat tahun penjara. Hamidy juga dituntut membayar denda Rp 150 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara Bendahara KONI Johny E Awuy dituntut dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Kami menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," ujar Jaksa Ronald.
Dalam pertimbangan, jaksa menilai perbuatan Hamidy dan Johny tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun, keduanya bersikap sopan, belum pernah dihukum, bersikap kooperatif dan mengakui perbuatan.
Menurut jaksa, Hamidy dan Johny terbukti secara bersama-sama menyuap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana, pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Kemenpora Adhi Purnomo dan staf Kemenpora Eko Triyanta. Hamidy dan Johny disebut memberikan 1 unit Toyota Fortuner hitam dan uang Rp 300 juta kepada Mulyana. Selain itu, Mulyana diberikan kartu ATM debit BNI dengan saldo Rp 100 juta.
Johny dan Hamidy juga memberikan ponsel merek Samsung Galaxy Note 9 kepada Mulyana. Selain itu, Ending juga memberikan uang Rp 215 juta kepada Adhi Purnomo dan Eko Triyanta.
Jaksa menduga pemberian hadiah berupa uang dan barang itu bertujuan supaya Mulyana dan dua orang lainnya membantu mempercepat proses persetujuan dan pencairan dana hibah Kemenpora RI yang akan diberikan kepada KONI. Diketahui, KONI mengajukan proposal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018. Kemudian, proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi Tahun 2018.
Diduga, sejak awal Hamidy dan Miftahul Ulum telah menyepakati komitmen pemberian atas pencairan dana hibah yang diberikan Kemenpora kepada KONI. Hamidy dan Ulum sepakat bahwa besaran fee 15 persen hingga 19 persen dari nilai total dana hibah.
Atas perbuatannya, Hamidy dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sementara Johny dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.