Jumat 10 May 2019 08:08 WIB

Hilangnya Ilmu Khusyuk

Abu ad-Darda berpendapat ilmu yang pertama kali hilang adalah ilmu khusyuk.

Jamaah Masjid Muhammad di Washington, yang sebagian besar adalah warga Amerika keturunan Afrika, sedang khusyuk shalat.
Foto: VOA
Jamaah Masjid Muhammad di Washington, yang sebagian besar adalah warga Amerika keturunan Afrika, sedang khusyuk shalat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Kini, pudarnya rasa khusyuk mulai menghampiri umat Islam. Hal itu telah diprediksikan oleh sejumlah salaf. Khusyuk tak lagi menjadi pemandangan lazim, layaknya shalat yang ditunjukkan oleh kalangan salaf. Bahkan, mereka menegaskan bahwa kekhusyukan termasuk perkara yang pertama kali hilang dan dicabut dari umat, selain ilmu.

Umat masa kini cenderung terperangah dengan persoalan duniawi. Kesibukan mengurus urusan materi mengalihkan konsentrasi memperoleh khusyukan dalam shalat yang mereka kerjakan setiap harinya.

Baca Juga

Syadad bin Aus pernah mengatakan bahwasanya khusyuk termasuk perkara yang pertama kali akan sirna dari umat Islam. Sehingga, seandainya seseorang terlihat khusyuk, pada hakikatnya tidak seperti itu. Kekhusyukan tersebut bukan kekhusyukan yang sebenarnya.

Abu ad-Darda pernah menekankan hal yang sama. Menurutnya, ilmu yang pertama kali dihilangkan dari umat adalah ilmu khusyuk. Akibat hilangnya khusyuk tersebut, nyaris saja tidak ditemukan orang shalat khusyuk di setiap masjid.

Menurut Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali (795 H) dalam sebuah kitabnya yang berjudul Al-Khusyu’ fi as-Shalat, fenomena di atas bisa diakibatkan oleh berbagai faktor. Di antara faktor yang cukup memengaruhi adalah problematika internal umat. Misalnya, munculnya konflik antaraliran Islam dengan tingkat dan intensitas tinggi. Dulu, konflik tersebut pernah terjadi pascaterbunuhnya Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib RA.

Ummu Salamah mengisahkan tentang tragedi pembunuhan yang terjadi di tengah-tengah umat dan dampaknya terhadap kekhusyukan shalat. Berdasarkan kisahnya tersebut, dulu tatkala Rasulullah masih hidup, pandangan jamaah tak berpindah dari tempat kedua kaki mereka berpijak. Setelah Rasulullah meninggal dunia, pandangan tersebut bergeser hingga setinggi kening.

Saat Umar bin Khattab wafat, pandangan itu berpindah lagi hingga mengarah ke arah tempat kiblat. Hingga pascakematian Usman bin Affan, penglihatan itu tak lagi fokus pada satu tempat. Mereka kerap menengok ke kanan dan ke kiri sewaktu shalat. Gambaran itu mengisahkan tentang dampak tragedi dan problematika hidup pada kekhusyukan shalat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement