REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki mengatakan negaranya tidak akan menerima rencana perdamaian Timur Tengah Amerika Serikat (AS) atau dikenal dengan istilah Deal of the Century. Hal itu kecuali rencana tersebut mengakomodasi tuntutan Palestina, termasuk menetapkan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
“Mereka (Gedung Putih) tidak akan menemukan satu pun orang Palestina yang akan mengatakan “ya” untuk kesepakatan di luar parameter itu,” kata al-Maliki dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Asharq Al-Awsat, Jumat (10/5).
Dia mengatakan bahwa tuntutan itu tak dapat ditawar. “Palestina tak siap untuk membahas rencana apa pun yang tidak mencantumkan negara Palestina merdeka berdasarkan perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” ujarnya.
Kendati demikian, al-Maliki mengakui bahwa hingga kini Palestina belum mengetahui secara mendetail tentang rencana perdamaian AS. “Apa yang dikabarkan oleh media Israel tentang Deal of the Century, yang diprediksi akan diumumkan Presiden AS Donald Trump, hanya omongan. Kami tidak mengetahui susunan rencana ini atau detailnya,” ucapnya.
Al-Maliki enggan mengomentari atau mengakui informasi yang menyingkap isi rencana perdamaian AS. Menurut dia, informasi tersebut masih disangsikan kebenarannya.
Menanggapi dugaan bahwa AS hendak memberikan bantuan ekonomi sebagai pengganti solusi dua negara, al-Maliki menegaskan Palestina tak membutuhkan satu sen pun bantuan internasional. “Ketika Palestina diakui sebagai negara berdaulat, kapasitas nasionalnya sendiri akan memungkinkannya untuk berkembang dengan ekonomi maju. Ini adalah masalah prinsip dan hak Palestina untuk berperang melawan penindasan, bukan uang!” kata al-Maliki.
Penasihat senior Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner, mengatakan bahwa rencana perdamaian AS untuk Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina, akan dirlis setelah bulan suci Ramadan, yakni pada Juni mendatang. Hal tersebut dia ungkapkan ketika berbicara di forum majalah Time akhi bulan lalu.
Kushner mengatakan, sebenarnya AS hendak mengumumkan rencana perdamaiannya pada akhir tahun lalu. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemudian menyelenggarakan pemilu dan membutuhkan waktu untuk membentuk koalisi.
Dalam laporannya bulan lalu, Washington Post menyebut bahwa rencana perdamaian AS tidak menyertakan tentang kemerdekaan Palestina. Beberapa pejabat AS yang dikutip Washington Post mengatakan bahwa pemerintahan Trump hanya akan mencantumkan tentang perbaikan kondisi hidup rakyat Palestina.
Karena tak menyertakan tentang kemerdekaan Palestina, sebagai gantinya AS akan melakukan investasi dan sumbangan senilai puluhan miliar dolar AS untuk Tepi Barat serta Jalur Gaza. Mesir, Yordania, dan negara-negara Teluk yang kaya juga tak luput dari cipratan uang AS. "Rencana ekonomi hanya berfungsi jika kawasan mendukungnya. Ini adalah bagian yang sangat penting dari keseluruhan persamaan," kata seorang pejabat AS kepada Washington Post, dikutip laman the Times of Israel.
Kendati demikian, pejabat itu mengatakan Gedung Putih sangat menyadari bahwa ketika mereka hanya berfokus pada masalah ekonomi dan mengabaikan aspirasi politik, rencana perdamaian yang telah dirancang kemungkinan besar gagal. "Ini bukan perdamaian ekonomi. Kami menanggapi dengan sangat serius kedua aspek ini, politik, yang menangani semua masalah inti, dan ekonomi," kata pejabat tersebut.
"Kami memahami bahwa jika aspek politiknya tidak solid, maka aspek ekonomi tidak ada artinya. Tapi pada saat yang sama, aspek politik tidak akan berhasil tanpa rencana ekonomi yang tepat," ujarnya menambahkan.