Sabtu 11 May 2019 05:15 WIB

Mantari Bondar: Upaya Konservasi Air Desa Hatabosi Tapanuli

Orang terpilih bertugas menjaga hutan dan mata air dari kerusakan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolanda
Rapat Penjago Bondar Desa Hatabosi, Tapsel, untuk menjaga konservasi air kawasan Cagar Alam Sibual-buali.
Foto: Republika/Idealisa Masyrafina
Rapat Penjago Bondar Desa Hatabosi, Tapsel, untuk menjaga konservasi air kawasan Cagar Alam Sibual-buali.

REPUBLIKA.CO.ID, TAPANULI SELATAN -- Dalam menjaga dan mengawasi sumber air dan Kawasan Hutan Cagar Alam Sibual-buali, masyarakat setempat memiliki sebuah kearifan lokal yang telah dipertahankan secara turun temurun, yakni Mantari Bondar. Mantari Bondar merupakan tradisi Desa Hatabosi atau singkatan dari nama empat desa: Haunatas, Tanjung Rompa, Bonan Dolok dan Siranap yang berada di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, untuk menjaga sumber saluran air di wilayah tersebut. Mantari Bondar adalah kearifan lokal desa yang memiliki aturan adat warisan leluhur berusia seabad lebih dalam menjaga hutan dan sumber air. 

"Mantari artinya Menteri dan Bondar artinya saluran atau aliran air. Jadi Mantari Bondar. Mantari Bondar membawahi delapan Penjago Bondar, semuanya dipilih oleh masyarakat dalam rapat adat," kata Mantari Bondar Desa Hatabosi, Musohur Pasaribu. 

Mantari Bondar sebenarnya adalah petugas yang menjaga saluran atau sumber air dan hutan, aturan adat warisan leluhur ini sudah seabad lebih disepakati dan dijalankan oleh warga. Mantari dan Penjago bertugas menjaga hutan dan mengawasi mata air dari kerusakan, serta mengurus aliran air agar tidak tersumbat. 

"Kalau hujan, tali air sering tersumbat kayu dan batu-batu. Ada longsor itu paling parah menyumbat. Nanti Penjago Bondar bersihkan di sepanjang 4 km sungai Batangtoru," jelas Musohur.

Penjago Bondar akan membersihkan aliran air yang tersumbat, sedangkan Mantari Bondar, lebih banyak mengurusi sengketa air yang timbul dengan mekanisme sanksi adat. Mantari dan Penjago Bondar mendapat 'upah' dari menyisihkan sebagian hasil pertanian warga dengan jumlah tertentu dan dibayar per tahun.

"Bayarannya dua kaleng padi per KK (kepala keluarga) di Desa Hatabosi. 1 kaleng sebanyak 16 kg, jadi 2 kaleng 32 kg per KK. Nanti Mantari yang membagi-bagikan," jelas Musohur.

photo
Para Penjago Bondar Desa Hatabosi.

Tradisi ini sudah berlangsung sangat lama. Mantari Bondar ini berasal dari Desa Haunatas, sementara Panjago Bondar merupakan perwakilan dari Desa Haunatas, Desa Tanjung Dolok, dan Desa Siranap (Desa Aek Sabaon).

Menjaga sumber air dan Kawasan Hutan Sibual-buali sudah dilakukan sejak leluhurnya datang ke Kampung Simaretong (Desa Haunatas). Hatabosi tak dapat dilepaskan dari sejarah lahirnya Kampung Simaretong (Desa Haunatas) bermarga Pasaribu sekitar tahun 1907.

"Mantari Bondar turun temurun harus bermarga Pasaribu," ujar Erwin Pasaribu, salah satu Penjago Bondar.

Tradisi menjaga hutan dilakukan sejak leluhur Pasaribu hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari dan mengairi lahan-lahan pertanian masyarakat. Sekitar 3.000 hektare dilestarikan oleh masyarakat yang memiliki tradisi menjaga hutan untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari dan mengairi 300 hektare lahan pertanian. 

Ketua DPW Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara Hendrawan Hasibuan menjelaskan, Mantari Bondar mengatur sistem pengelolaan dan pembagian saluran air tersebut berdasarkan kesepakatan masyarakat keempat desa. 

Syaratnya, memiliki areal persawahan dan telah diadati dalam pernikahan. Jika kemudian ada yang keluar dari kampung, maka haknya dalam penggunaan saluran air akan hilang. Tapi hak tersebut dapat dipulihkan jika dia kembali lagi ke desa.

"Selanjutnya, apabila terjadi kerusakan pada saluran air, misalnya salah satu jaringan bondar rusak, maka yang bertanggungjawab memperbaiki adalah Panjago Bondar. Namun jika di hulu Aek Sirabun terjadi longsor maka Mantari Bondar akan turun tangan untuk meminta masyarakat bergotong royong memperbaikinya," jelas Hendra.

Sementara, sumber dana untuk peralatan, perawatan, dan pengawasan bondar berasal dari masyarakat keempat desa tersebut, di mana setiap orang yang menggunakan air diwajibkan membayar dua kaleng padi setiap tahun. Bagi warga baru dari luar keturunan keempat desa diwajibkan membayar 12 kg getah karet dan tiga tabung padi. 

Mantari Bondar akan menjualnya dan uangnya digunakan untuk membeli peralatan seperti cangkul, parang, dan alat-alat yang biasa digunakan untuk memperbaiki irigasi. Sisanya, disisihkan untuk upah Mantari Bondar. Sementara upah Panjago Bondar diatur Mantari Bondar berdasarkan hari kerja yang dilakukan Panjago Bondar dalam setahun.

Semua diatur dalam suatu kesepakatan warga masyarakat, paling penting adalah larangan untuk masyarakat empat desa dan masyarakat luar desa agar tidak merusak hutan khususnya di hulu Aek Sirabun (Kawasan Hutan Cagar Alam Sibual-buali) dan daerah sepanjang saluran air. Jika terjadi pelanggaran, akan diadili oleh masyarakat sendiri sesuai aturan yang sudah disepakati, lalu dilanjutkan ke proses hukum negara.

Meskipun sudah turun temurun menjalankan tradisi ini untuk konservasi air, tampaknya Pemerintah Daerah belum menghargai kerja keras mereka. 

"Dari Pemerintah belum ada penghargaan untuk kami. Kami bekerja disitu (sungai). Taunya sekarang ada orang Dinas Perairan bekerja disitu, tidak ada kasih tahu. Maunya dari kampung sinilah, jangan dari luar," ujar Musohur. 

Selain menjaga konservasi air, masyarakat desa setempat juga menjaga satwa-satwa yang dilindungi di kawasan ini, misalnya orangutan sumatera yang merupakan endemik di kawasan tersebut. Orangutan sudah hidup berdampingan dengan manusia di kawasan hutan tersebut sejak jaman nenek moyang. Dengan melindungi satwa ini maka diyakini juga telah melestarikan kawasan hutan.

Hendrawan Hasibuan menambahkan, pihak SHI mendorong semua pihak, khususnya pemerintah daerah menghargai kerja keras para Bondar ini.

"Upah mereka hanya padi setiap tahunnya. Makanya kita dorong semua pihak menghargai ini. Boleh siapapun membangun, tapi perhatikan masyarakat desa sepanjang Batangtoru. Jangan menjaga hutan lestari tapi masyarakat tidak sejahtera," kata Hendra. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement