REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pembentukan tim asistensi hukum Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) berpotensi disalahartikan. Pemerintah bisa dinilai sedang menggunakan pendekatan politik-kekuasaan untuk mengintervensi independensi hukum.
"Pembentukan tim asistensi hukum Kemenko Polhukam tersebut berpotensi diartikan bahwa pemerintah sedang mendayagunakan pendekatan politik-kekuasaan untuk mengintervensi independensi hukum," ujar anggota Komnas HAM, Munafrizal Manan, di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).
Ia berpendapat demikian karena tim tersebut dibentuk sebagai respons atas dinamika politik yang muncul pascapemilu 17 April lalu. Padahal lembaga penegak hukum, yakni Polri dan Kejaksaan Agung, sudah berada di bawah garis koordinasi Menko Polhukam.
Anggota Komnas HAM lainnya, Choirul Anam, mengatakan, pihaknya akan mahfum jika pembentukan tim ini dilakukan oleh Kapolri. Itu memungkinkan jika memang Kapolri membutuhkan dukungan untuk mempercepat proses penegakkan hukum.
"Tapi karena ini oleh Kemenko Polhukam, pendekatannya jadi politik. Jadi politik memaksakan penegakkan hukum," terangnya.
Tim ini sudah mulai bekerja sejak Kamis (9/5). Mereka akan membantu Kemenko Polhukam untuk menentukan suatu aksi, tindakan, atau ucapan seseorang ataupun kelompok masuk ke pelanggaran hukum atau tidak.
"Sudah mulai (hari Kamis ini), tadi kan sudah rapat," ungkap Menko Polhukam, Wiranto, usai menggelar rapat dengan tim bantuan hukum Kemenko Polhukam di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (9/5).
Wiranto menjelaskan, tim tersebut akan melihat dan menilai aksi atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok termasuk ke dalam tindakan inkonstitusional atau tidak. Mereka akan mempertimbangkan hal tersebut dan hasilnya akan diberikan ke aparat keamanan untuk dijadikan referensi sebelum bertindak.