REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sejak insiden penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, terjadi pada Maret lalu, Nezar Hamze (42 tahun) mendapat banyak panggilan dari masjid-masjid di Amerika Serikat (AS). Dia diminta memberikan pelatihan tentang bagaimana umat Muslim harus bertindak saat serangan teror terjadi di masjid mereka.
Hamze adalah wakil sheriff sekaligus pelatih lapangan dan seorang sopir penyelamat terlatih dengan tim intervensi krisis yang berbasis di Fort Lauderdale, Florida. Dalam empat tahun terakhir, dia telah mengunjungi lebih dari 170 masjid di AS untuk memberikan pelatihan keselamatan. Harapannya umat Muslim di sana memiliki bekal kemampuan untuk menghadapi situasi genting, seperti ancaman atau serangan teror.
Pasca-insiden Christchurch, Hamze cukup sibuk. Banyak masjid di AS yang memanfaatkan jasa pelatihan keselamatannya. Islamic Center of Boca Raton di Florida adalah salah satu masjid yang segera memanggil Hamze setelah penembakan Christchurch terjadi.
"Menjadi semakin penting bagi kita untuk mengambil langkah-langkah yang lebih terorganisasi untuk memastikan bahwa sesuatu seperti ini (penembakan Christchurch) tidak pernah terjadi di sini," ujar anggota tim keselamatan dan keamanan masjid Rami Aboumahadi, dilaporkan laman Huffington Post.
Dia sebenarnya berharap hasil pelatihan keselamatan Hamze tak perlu digunakan. "Tapi Allah melarang sesuatu terjadi, setidaknya kita punya ide apa yang harus dilakukan (saat terjadi serangan teror)," katanya.
Untuk jasa pelatihan keselamatan, Hamze meminta biaya sebesar 500-2.250 dolar AS. Besaran biaya tergantung pada topik dan jumlah sesi, mencakup apa yang harus dilakukan jika seorang penembak aktif menyerang masjid.
Jasa pelatihan Hamze juga menawarkan panduan tentang ancaman bom, rencana evakuasi, dan praktik keselamatan umum selama perhelatan kegiatan akbar, seperti salat Jumat atau Ramadan. Hamze dapat meninjau denah masjid dan bertemu dengan tim keamanannya. Ia pun menawarkan jasanya ke pusat-pusat Muslim lainnya, seperti sekolah-sekolah Islam swasta.
Hamze mengatakan insiden penembakan dua masjid di Selandia Baru membuatnya tertekan. Tapi dia mengaku tak terkejut. Ia hanya khawatir serangan serupa bisa terjadi di Amerika.
"Saya tidak terkejut jika itu akan terjadi lagi. Ini hanya masalah kapan dan di mana. Jadi kita harus memastikan masyarakat memiliki pengetahuan, keterampilan, alat, dan pelatihan untuk melindungi diri mereka sendiri," ujar Hamze.
Selain memanfaatkan jasa pelatihan keselamatan, ada pula masjid-masjid di AS yang menempuh cara lain guna mengamankan jamaahnya. The North Austin Muslim Coummunity Center, salah satu masjid terbesar di Texas Tengah, rela menggelontorkan dana ribuan dolar demi keperluan keamanan.
Dalam beberapa bulan terakhir, Masjid Austin memang telah empat kali menjadi sasaran penyerangan. Pekan lalu, misalnya, seseorang terekam video sedang menuangkan bensin ke sisi bangunan masjid dan berusaha menyalakannya. Hingga kini polisi setempat belum berhasil menangkap pelaku pembakaran tersebut.
Sejak saat itu, selain mempererat kerja sama dan koordinasi dengan otoritas keamanan setempat, Masjid Austin juga menyewa jasa keamanan swasta. "Kami ingin melakukan segala yang kami bisa setelah menaruh kepercayaan kepada Allah bahwa kami juga mengambil sarana yang diperlukan untuk keselamatan manusia," kata Imam Masjid Austin Islam Mossad.
Imam Masjid Westchester di New York, Saad Gewida menempuh jalur antisipasi serupa seperti Masjid Austin. Ia menyewa jasa keamanan swasta untuk menjaga pintu masuk dan keluar masjid setiap malam.
Pada bulan Ramadan, Masjid Westchester menggelar kegiatan buka puasa bersama setiap hari. Kegiatan itu diikuti sekitar 200 Muslim. Banyak dari mereka yang membawa kerabat, anak, serta orang tuanya.
"Jika seseorang meninggal, maka semuanya sudah berakhir. Kehidupan seseorang telah berakhir. Dengan cara ini kami telah melindungi orang-orang kami dan tidak menempatkan mereka dalam bahaya, dan anggota masyarakat kami lega mendengar bahwa kami telah memilih dan melakukannya," kata Gewida.