REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai rencana pembentukan tim khusus pengkaji ucapan tokoh yang dianggap melanggar hukum, sehingga berpotensi membungkam kritik kepada pejabat negara.
"Padahal, pejabat negara harus mentoleransi lebih banyak kritik ketimbang individu yang tidak menduduki jabatan publik," ujar Usman melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Jumat (10/5).
Usman kemudian mempertanyakan apa yang dimaksud dengan "ucapan yang melanggar hukum", sebagaimana dimaksud dalam rencana tersebut. Menurut Usman, tanpa kejelasan apa yang dimaksud dengan "melanggar hukum" maka upaya pengawasan yang dimaksud menjadi rawan disalahgunakan untuk membungkam kritik yang sah dari warga negara terhadap pemerintah.
"Lebih jauh rencana ini berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi di Indonesia, karena membungkam kritik apalagi lewat pemidanaan, sama saja memperparah kompleksitas permasalahan over-kapasitas penjara di Indonesia," ujar Usman.
Usman menambahkan hak atas kemerdekaan dalam menyatakan pendapat di Indonesia sudah terancam dengan berbagai ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik.
Menurut Usman penggunaan undang-undang pencemaran nama baik, penghinaan atau makar, dengan motif menghambat kritik terhadap pemerintah atau pejabat publik, berpotensi melanggar hak atas kemerdekaan berpendapat.
"Salah satu yang bermasalah adalah pasal yang memidanakan penghinaan terhadap pejabat dan lembaga negara," ucap Usman.
Sebelumnya Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto berencana membentuk tim khusus pengkaji ucapan tokoh yang dianggap melanggar hukum.
Kepada Amnesty International Indonesia, Wiranto menjelaskan bahwa tim yang dibentuk oleh Kemenkopolhukkam bukanlah sebuah badan baru, melainkan sebatas tim asistensi yang terdiri dari beberapa akademisi seperti Muladi, Romli Atmasasmita, Indriyanto Senoadji, hingga Yusril Ihza Mahendra.
Pembentukan tim tersebut dikatakan Wiranto tidak dimaksudkan untuk membungkam kritik seperti era Orde Baru.