REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 1.600 konten berkaitan paham radikalisme dan terorisme di media sosial ditutup selama Januari sampai April 2019. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan platform yang diajak patroli siber menjaring konten-konten radikal, seperti pembuatan bahan peledak, di antaranya Youtube dan Twitter.
"Informasi yang saya dapat, 1.600 lebih sudah ditutup. Kami dari Direktorat Siber, Kemkominfo, dan BSSN terus kerja sama dengan platform," tuturnya di Jakarta, Jumat (11/5).
Untuk diketahui, terduga teroris EY yang merupakan pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Bekasi belajar membuat serta memodifikasi bom dari media sosial. Media sosial yang digunakan untuk mendalami cara membuat bom oleh EY antara lain Twitter dan video dari Youtube.
Dari belajar sendiri itu, kelompok EY sudah merakit dua bom serta mengumpulkan bahan baku cukup banyak untuk merakit bom. Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan selama Januari sampai Februari 2019 telah dilakukan pemblokiran sebanyak 1.031 konten. Konten tersebut terdiri atas 963 konten Facebook dan Instagram serta 68 konten di Twitter.
Konten di Facebook dan Instagram merupakan yang paling banyak ditutup terkait radikalisme dan terorisme. Bahkan, selama 2018 dari 10.499 konten yang ditutup sebanyak 7.160 konten berasal dari Facebook dan Instagram. Sebanyak 1.316 konten di Twitter, 677 konten di Google/Youtube, 502 konten di Telegram, 502 konten di file sharing, dan 292 konten di situs web.