REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengaku tak mengesampingkan kemungkinan konfrontasi militer dengan Iran mengingat ketegangan yang terjadi di antara kedua negara. Sementara itu, pesawat pengebom B-52 milik AS telah tiba di pangkalan militer AS di Qatar yang sengaja dikerahkan untuk mengirim pesan kepada Iran.
Dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih pada Kamis (9/5), Trump enggan menjelaskan alasannya mengerahkan kapal induk USS Abraham Lincoln ke kawasan Timur Tengah. Dia hanya menyebut bahwa ada ancaman yang belum jelas.
"Kami memiliki informasi yang tidak ingin Anda ketahui. Mereka sangat mengancam dan kami harus memiliki keamanan besar untuk negara ini dan banyak tempat lainnya," ujar Trump.
Trump pun mengomentari tentang memanasnya hubungan AS dengan Iran terkait program nuklir. Menurut dia, Teheran seharusnya mengajaknya bicara. "Kita dapat membuat kesepakatan, kesepakatan yang adil. Kita hanya tidak ingin mereka memiliki senjata nuklir, tidak terlalu banyak bertanya. Dan kita akan membantu mengembalikannya ke bentuk yang baik," ucap Trump.
Jika sekiranya para pejabat Iran belum memiliki kesempatan bertemu, Trump pun membuka diri untuk melangsungkan percakapan via telepon. "Jika mereka melakukannya, kami terbuka untuk bicara dengan mereka," kata dia.
Tawaran berunding ini langsung ditampik pasukan elite Iran, Deputi Kepala Garda Revolusi Yadollah Javani. "Tidak akan ada perundingan dengan Amerika dan Amerika juga tidak akan berani mengambil tindakan militer kepada kami," kata Javani kepada kantor berita Tasnim, Jumat (10/5).
Sementara, Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi mengatakan bahwa Iran sudah pernah berunding dengan enam kekuatan dunia, termasuk AS. Perundingan itu dilakukan dalam kerangka kerja kesepakatan nuklir yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Ravanchi justru menyebut Trump yang meninggalkan pembicaraan tersebut.
"Namun, tiba-tiba ia (Trump—Red) memutuskan untuk meninggalkan meja perundingan... apa jaminannya bahwa ia tidak akan abai lagi? kata Ravanchi dalam wawancara dengan MSNBC.
Sementara itu, ribuan orang turun ke jalan di Tehran, Jumat. Mereka menyuarakan dukungan kepada Pemerintah Iran untuk menarik diri dari JCPOA. Aksi ini dilakukan usai shalat Jumat.
“Amerika harus tahu bahwa sanksi tidak akan berpengaruh apa-apa!\" teriak pengunjuk rasa.
Tak ada indikasi serangan Iran
Penasihat keamanan nasional AS John Bolton mengatakan, belum ada indikasi atau peringatan serius tentang apakah Iran merencanakan kemungkinan serangan. Dia hanya menegaskan bahwa AS hendak mengirim pesan yang jelas kepada Teheran.
"AS tidak mencari perang dengan rezim Iran, tapi kami sepenuhnya siap menanggapi serangan apa pun, apakah dengan proksi, Garda Revolusi Iran, atau pasukan reguler Iran," ucap Bolton, dilaporkan laman CBS.
Di luar perseteruan tersebut, Trump juga telah menuduh mantan menteri luar negeri AS, John F Kerry, telah melanggar hukum federal. Trump menyebut, Kerry menjalin kontak dengan Iran. Perbuatan Kerry, menurut Trump, melanggar Undang-Undang Logan (Logan Act) 1799. Kerry adalah menteri luar negeri AS yang menegosiasikan kesepakatan nuklir Iran pada 2015. Kala itu, AS masih dipimpin Barack Obama.
Menurut UU tersebut, adalah sebuah kejahatan bagi warga negara AS untuk bernegosiasi dengan pemerintah asing yang berselisih denga Washington. "Dia (Kerry) berbicara dengan Iran dan memiliki banyak pertemuan serta panggilan telepon dan dia mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan. Itu adalah pelanggaran total dari Logan Act," kata Trump.
Seorang juru bicara Kerry telah membantah tuduhan Trump. "Dia (Trump) salah tentang fakta, tentang hukum, dan sayangnya dia salah tentang cara menggunakan diplomasi untuk menjaga keamanan Amerika," kata juru bicara Kerry.
Pada Mei tahun lalu Trump memutuskan menarik AS dari JCPOA. Ia lalu menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sanksi itu membidik sektor energi, otomotif, dan keuangan Iran. Pada Rabu lalu Trump memerintahkan penerapan sanksi baru untuk Teheran yang mengincar industri logam negara tersebut.
(reuters/ap ed: yeyen)