Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Suara dua perempuan itu melengking tinggi. Dalam bahasa Arab yang tak saya pahami. Makin lama terdengar kian "seru". Sampai akhirnya: "Jedug!"
Terdengar bunyi agak keras. Lalu suara-suara perempuan yang memekik kaget. Bersahut-sahutan. Orang-orang terlihat berdiri merubung. Terdengar seruan untuk istighfar. Juga seruan untuk bersalawat.
Pandangan saya terhalang, karena orang-orang di depan berdiri semua.
Askar datang. Ada suara bernada memerintah. Dua perempuan berabaya hitam itu lalu mengikuti langkah askar meninggalkan lokasi diiringi tatapan mata ingin tahu jamaah perempuan.
Suara serupa dengungan lebah mulai terdengar. Membicarakan peristiwa yang baru terjadi.
Mengapa dua orang perempuan itu sampai "jenggung-jenggungan" di dalam masjid yang suci.
Ceritanya simpang siur. Namun intinya sama: keduanya berebut shaf shalat. Tak ada yang mau mengalah. Akhirnya, ributlah.
Astaghfirullah...
Suasana kepadatan Masjidil Haram jelang buka puasa.
Hari itu hari Jumat. Kepadatan di dalam masjid berlipat dari hari sebelumnya. Sejak jam 08.00 pagi, bahkan. Saat saya datang.
Padahal biasanya di jam yang sama, saya masih bisa memilih tempat dengan leluasa. Tapi hari ini tidak.
Seperti itulah hari Jumat di Tanah Suci. Saking padatnya, sampai tak ada celah yang tersisa sama sekali. Apalagi di bulan Ramadhan. Di 10 hari terakhir.
Sebenarnya situasi kali ini tak "sedramatis" yang pernah saya alami sebelumnya. Sewaktu pergi haji tahun 2006.
Kebetulan waktu itu adalah haji akbar. Di mana wuqufnya bertepatan dengan hari Jumat. Haji sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah SAW. Konon, penduduk Saudi hanya berhaji bila bertepatan dengan haji akbar.
Jumat pertama usai wuquf, sejak pagi Masjidil Haram sudah sesak dengan lautan manusia. Saya dan suami, Lambang, dapat shaf di Mas'a (area sa'i) yang shaf laki-laki dan perempuan telah bercampur. Kondisi seperti itu dimungkinkan di Masjidil Haram.
Makin lama, situasi kian crowded. Hingga akhirnya seseorang menyeru untuk berdiri supaya tidak terinjak-injak.
Semua saling berpegangan tangan untuk menahan arus manusia yang mulai saling dorong. Sebelah saya bapak-bapak sepuh. Tak mau batal wudhu, saya ulurkan sajadah. Jadilah kita saling memegang sajadah.
Suara jeritan mulai terdengar di sana-sini. Juga istighfar. Askar lalu datang dan menutup area itu, sehingga arus manusia tak lagi bisa bertambah.
Setiap kali melihat lautan manusia yang berebut shaf shalat di Tanah Suci, terbesit rasa di hati: Alangkah mahalnya surga. Sekapling tempat pun harus diperebutkan sedemikian rupa.
Kapasitas masjid terus diperluas untuk menampung jamaah dan memberikan kenyamanan maksimal dalam beribadah.
Suasana buka puasa di halaman Masjidil Haram.
Khalifah Umar bin Khattab tercatat sebagai khalifah yang pertama melakukan perluasan Masjidil Haram pada tahun 17 H atau bertepatan dengan 638 M.
Sebuah dinding mengelilingi area Ka'bah dibangun dengan memberikan ganti rugi pada penduduk setempat. Perluasan ini membuat area Masjidil Haram menjadi seluas 840m².
Setelah itu hampir semua khalifah meninggalkan jejak dengan memperluas dan memperindah bangunan masjid.
Saat ini tercatat proyek perluasan Masjidil Haram menjadikannya sebagai masjid terbesar di dunia dengan luas 400.000m².
Dan sesuai visi 2030, pemerintah Arab Saudi merencanakan jumlah jamaah haji dan umrah yang bisa terlayani pada tahun 2039 sebesar 30 juta. Ini setara dengan 3 kali lipat penduduk Jakarta.
Allahu akbar!
Semoga bila tiba waktunya nanti, tak ada lagi yang sampai "jenggung-jenggungan" berebut shaf shalat. Seperti yang saya saksikan ini.
Follow me on IG @uttiek.herlambang
Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti