REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah akan menghentikan impor solar dan avtur mulai Juni 2019. Kebijakan tersebut dilakukan agar defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tidak makin melebar.
Darmin mengatakan, sebagai gantinya, pengolahan minyak dalam negeri menjadi avtur dan solar akan dimaksimalkan. "Menurut Pertamina dan (Kementerian) ESDM, nanti sudah tidak impor (avtur dan solar) bulan depan," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (10/5).
Terkait rencana penghentian impor avtur dan solar, Darmin memastikan, kebutuhan domestik tidak akan terganggu. Mantan gubernur Bank Indonesia itu mengatakan, Pertamina sudah melakukan persiapan.
"Pertamina menjelaskan kepada kami, mereka akan cukup memenuhi kebutuhan domestik, jadi tidak terganggu," tuturnya.
Darmin menambahkan, proses pengolahan minyak hasil dalam negeri yang dimulai pada bulan ini akan terasa efeknya pada Juni. Dia memproyeksikan hal itu akan membantu penurunan impor migas dan memperbaiki CAD.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menjelaskan, pemerintah sudah mengimbau para pelaku industri untuk bisa memakai solar dalam negeri guna menekan angka impor. Arcandra memastikan, Pertamina mampu memenuhi kebutuhan solar tersebut.
"Sebisa mungkin, solar yang diproduksi oleh Pertamina itu digunakan atau dibeli oleh industri di dalam negeri," ujar Arcandra di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada Jumat (10/5).
Arcandra menjelaskan, kebijakan ini sudah menjadi salah satu kesepakatan pemerintah untuk bisa menekan angka impor solar. Salah satu caranya, kata Arcandra, Pertamina akan menyerap minyak mentah produksi KKKS langsung dan mengolahnya ke kilang.
"Itu makanya kebijakan kita beli dari dalam negeri. Jadi, bisa menekan angka impor. Pengolahannya langsung di kilang Pertamina," ujar Arcandra.
Selain itu, kata Arcandra, untuk bisa menekan angka impor solar adalah dengan implementasi wajib biodiesel 20 persen (B20). Menurut Arcandra, dengan kebijakan tersebut sekitar 20 persen dari penggunaan solar sudah digantikan dengan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau bahan baku biodiesel.
"Ya, tentunya dari B20 itu pasti berkurang kebutuhan solar kita," ujar Arcandra.
Bank Indonesia (BI) mengumumkan, CAD pada kuartal I 2019 sebesar 6,97 miliar dolar AS atau setara 2,6 persen terhadap PDB. Angka itu turun dibandingkan CAD pada kuartal IV 2018 yang menembus 9,22 miliar dolar AS. Tapi, kondisi CAD kuartal I 2019 lebih tinggi dibandingkan CAD kuartal I 2018 sebesar 5,2 miliar dolar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, penurunan CAD, terutama karena peningkatan surplus neraca perdagangan barang. Surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat meningkat dan terjadi perbaikan defisit neraca perdagangan migas. Hal ini dipengaruhi penurunan impor yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspor.
"Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian impor beberapa komoditas tertentu yang diterapkan sejak akhir 2018," katanya.
Transaksi modal dan finansial pada kuartal I 2019 mencatat surplus sebesar 10,1 miliar dolar AS. Hal ini, kata Onny, mencerminkan optimisme investor terhadap prospek perekonomian domestik.
Selain itu, berkurangnya risiko ketidakpastian di pasar keuangan global turut menjadi faktor pendorong aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi langsung dan investasi portofolio.
Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal I 2019 mencatatkan surplus sebesar 2,4 miliar dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2019 menjadi sebesar 124,5 miliar dolar AS.
Jumlah cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah. Angka itu juga masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
(Ikuti Ulasan dan Analisis Berita-Berita Aktual di Republika.co.id , Klik di Sini)
Ke depan, kinerja NPI dierkirakan membaik dan dapat terus menopang ketahanan sektor eksternal. Pemerintah menargetkan defisit transaksi berjalan menurun hingga menuju kisaran 2,5 persen dari PDB pada 2019.
(lida puspaningtyas, ed: ahmad fikri noor)