REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan umum (pemilu) pada tahun ini yang diselenggarakan serentak telah menyebabkan duka. Banyak petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) sakit atau bahkan meninggal dunia.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai petugas KPPS yang menjadi korban pemilu serentak ini disebabkan faktor utama, yakni tiadanya dukungan soal kepastian hukum bagi mereka.
Titi menilai, penyelenggara pemilu sangat tidak siap menyelenggarakan pemilu secara serentak. Bahkan, lanjut dia, yang terjadi bukanlah pemilu serentak seperti yang diharapkan, tetapi "pemilu borongan."
"Logikanya, mau menyelenggarakan pemilu serentak, tapi kata saya ini pemilu borongan memborong lima pemilu sekaligus. Tapi, cara pengaturnya masih berlogika ala pemilu terpisah antara pileg dan pilpres," kata Titi Anggraini dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (11/5).
Pada tahun ini, untuk pertama kalinya Indonesia menggelar pemilu secara serentak. Akan tetapi, lanjut Titi, pembahasan mengenai hal itu tidak dilakukan secara maksimal. Diskusi-diskusi terkait pelaksanaannya masih sangat minim sehingga yang terjadi adalah ketidaksiapan di lapangan.
"Sebagai ilustrasi, ketika kita bicara 2019 kita akan melaksanakan sesuatu yang kita belum punya referensi secara praktik, sehingga harus ada diskusi yang mendalam. Tapi selalu praktiknya injury time. Undang-undang Pemilu saja ditandatangani 16 Agustus 2017 sementara tanggal 17 Agustus 2017 tahapan pemilu resmi dimulai," tutur Titi.
Selain itu, DPR dipandangnya juga terlampau menyita waktu dalam membahas detail-detail pemilu. Padahal, menurut Titi, seharusnya yang membahas detail demikian adalah penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Titi mengatakan, hasrat DPR mengatur hingga ke detail pemilu terjadi karena proses yang dibangun tidak didasari atas rasa percaya di antara instansi-instansi negara. "Harusnya detail ada di KPU, UU Bicara prinsip rujukan dari yang detail. Tapi UU kita ingin mengatur semuanya. Makanya ada 570-an pasal itu," jelas dia.
Selain itu, Titi juga mengkritisi soal terlalu banyaknya pihak yang ingin ikut andil dalam penyelenggaraan pemilu. Sebagai contoh, ketika ada peraturan KPU calon legislatif tidak boleh merupakan mantan narapidana korupsi. "KPU kemudian berada dalam kebimbangan karena harus di satu sisi ikut MA (Mahkamah Agung), di satu sisi ikut MK (Mahkamah Konstitusi). Lalu dia milih ikut MK. Lalu dibawa ke Bawaslu. Bawaslu kemudian buat keputusan yang baru," kata Titi.
Lebih lanjut, kata Titi, penyelenggaraan pemilu serentak sebenarnya adalah ide yang bagus. Masyarakat juga tidak boleh tergesa-gesa langsung memisahkan pemilu DPR dan presiden nantinya. Namun, evaluasi pemilu borongan yang terjadi memang harus dilakukan.