REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Muhyiddin
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, Indonesia memiliki banyak ulama yang menulis kitab-kitab ajaran Islam. Di antara kitab yang ditulis ulama nusantara adalah Nashaihul `Ibad yang berisi nasihat-nasihat agar umat Islam lebih dicintai Allah.
Kitab tersebut ditulis oleh ulama terkemuka asal Banten, Syekh Imam Nawawi al-Bantani. Kitab kuning yang satu ini memiliki peran sentral di jantung pemahaman agama masyarakat Muslim Indonesia. Kitab Nashaihul `Ibad ditulis menggunakan bahasa Arab, tapi kini telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya akan menggugah kesadaran umat Islam Indonesia untuk lebih dekat kepada Allah. Dalam buku ini, Syekh Nawawi menawarkan berbagai macam solusi untuk membenahi kekurangan-kekurangan umat selama ini.
Syekh Nawawi al-Bantani merupakan ulama besar yang lahir pada 1815 Masehi di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Beliau merupakan kakek buyut KH Ma'ruf Amin yang kini menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Syekh Nawawi adalah ulama bertaraf Internasional yang menjadi Imam Masjidil Haram. Sejak berusia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai mempelajair ilmu agama langsung dari ayahnya. Juga bahasa Arab, fikih, tauhid, Alquran, dan tafsir.
Pada usia delapan tahun, Syekh Nawawi berguru kepada KH Sahal, salah seorang ulama terkenal di Banten saat itu dan juga belajar kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta. Dengan keilmuan dan kecerdasannya yang tinggi, Syekh Nawawi telah mengajar orang-orang sejak usianya masih belum genap 15 tahun.
Setelah berusia 15 tahun, baru kemudian Syekh Nawawi berangkat haji ke Makkah dan berguru kepada ulama masyhur di sana. Setelah tiga tahun belajar di Makkah, Syekh Nawawi sempat kembali ke Banten pada 1833 untuk membantu ayahnya mengajar santri. Namun, beberapa tahun kemudian, dia kembali ke Makkah untuk menetap di kota suci itu.
Syekh Nawawi merupakan ulama nusantara yang memiliki kualitas keilmuan yang tinggi dan piawai dalam menulis, sehingga sangat banyak kitab yang ditulisnya. Setidaknya dia telah menulis sebanyak 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Sekitar 22 karyanya masih beredar hingga saat ini.
Karena itu, Syekh Nawawi dapat dikatakan sebagai ulama yang paling produktif di Indonesia. Seorang peneliti terkenal asal Belanda, Martin van Bruinessen menyatakan, 11 dari kitab-kitabnya bahkan termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren di Indonesia, termasuk kitab Syarah Nashaihul `Ibad.
Dalam mukadimah kitab Nashaihul `Ibad,Syekh Nawawi menjelaskan kitab yang disusunnya ini merupakan syarah (kitab penjelas) dari kitab kumpulan nasihat karya Syekh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad as-Syafi'i. Syekh Syihabuddin juga masyhur dikenal sebagai Ibnu Hajar al-Asqalani a-Mishri.
Syekh Nawawi menamai kitab ini dengan judul Nashaih al-Ibad fi Bayan al-Alfadz Munabbihat ala al-Isti'dadli Yaum al-Ma'ad, yang artinya kumpulan nasihat bagi para hamba dalam menjelaskan kata-kata peringatan untuk bersiap menghadapi hari kiamat.
Saya berharap semoga Allah menjadikan kitab ini bermanfaat bagi umat Islam dan menjadikannya tabungan amal hingga hari kiamat kelak. Amin.
Sayangnya, dalam mukadimah buku ini, Syekh Nawawi tidak menjelaskan tentang latar belakang penulisan kitab ini.
Namun, ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa Syekh Nawawi menulis kitab karena adanya permintaan dari murid-muridnya.
Selain itu, Syekh Nawawi juga menulis kitab untuk memelihara ajaran Islam yang tertuang dalam kitab-kitab klasik, sehingga karya Syekh Nawawi kebanyakan adalah kitab syarah dari kitab-kitab turats karya ulama terdahulu.
Kitab Nashaihul `Ibad berisi beberapa nasihat yang akan mencerahkan umat, sehingga bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kiamat. Nasihat-nasihat di dalam kitab ini dikelompokkan menjadi 10 bab yang berisi 214 nasihat.
Sebanyak 45 nasihat di antaranya bersumber dari hadis dan selebihnya adalah atsar atau ucapan para sahabat dan pengikut nabi. Penulisan kitab ini diselesaikan Syekh Nawawi pada Kamis, 21 Safar 1311 H (1893 M).