Pengalaman Puasa Direktur WHO Asia Tenggara di India

Red: Hasanul Rizqa

Ahad 12 May 2019 16:43 WIB

Prof Tjandra Yoga Aditama di depan rumah sakit  The Institute of Liver and Biliary Sciences (ILBS), Delhi, India, beberapa waktu lalu Foto: Dok: pri Prof Tjandra Yoga Aditama di depan rumah sakit The Institute of Liver and Biliary Sciences (ILBS), Delhi, India, beberapa waktu lalu

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Kesehatan memang harta yang paling berharga. Beruntunglah mereka yang masih dikaruniai Tuhan fisik dan psikis yang prima.

Belum lama ini saat awal Ramadhan, saya menjenguk teman sejawat yang menjalani transplantasi hati di Institut Ilmu Bedah Hati (ILBS), Delhi, India. Kebetulan, saat itu menjelang berbuka puasa. Sebelum masuk ke ruangan, saya menyempatkan diri mencari tahu rumah sakit yang disebut-sebut terbaik seantero Delhi ini.

Baca Juga

ILBS tergolong rumah sakit mono-superspeciality. Fasilitas medis di sini sangat mumpuni menangani sakit hati dan empedu (liver and biliary diseases). Rumah sakit (RS) ini mulai didirikan pada 2009 lalu oleh pemerintah daerah Delhi.

ILBS rata-rata melakukan ratusan transplantasi hati dan ginjal setiap tahun. Dokter bedah yang mengoperasi teman sejawat saya mengaku, sudah melakukan sekitar 500 transplantasi hati sepanjang kariernya.

Teman sejawat yang menjadi donor diambil 65 persen hatinya. Pascabedah, dia dirawat dua hari di ruang ICU, untuk kemudian pindah ke ruang rawat biasa sekitar 10 hari. Akhirnya, dia bisa keluar RS.

Sementara untuk resipiennya, seluruh hatinya diangkat. Dia menjalani ganti hati dengan hati baru dari pendonor. Resipien akan dirawat di ICU beberapa hari terlebih dahulu, untuk kemudian pindah ke ruang rawat biasa.

 

***

Selain kesehatan, ada pula tantangan lainnya menjalani Ramadhan di negeri orang. Kalau di India, waktu berpuasa lumayan panjang. Tak seperti di Tanah Air. Di Delhi, tempat saya bekerja, waktu subuh jatuh pada pukul 04.05 pagi waktu Delhi. Azan maghrib baru masuk pada pukul 19.05. Jadi, harus betul-betul dilatih fisik yang terbiasa durasi puasa di Indonesia.

photo
Prof Tjandra Yoga Aditama berpose di depan Taj Mahal, Agra, India, beberapa waktu lalu. (Dok. Pri)

Selanjutnya, persoalan iklim. Suhu di Delhi lumayan panas. Siang hari bisa mencapai 40 derajat celcius. Lebih baik tidak sering-sering keluar ketika mentari sedang terik-teriknya. Hati-hati pula serangan panas (heat stroke).

Tak ketinggalan, penetapan awal puasa. Di Indonesia, banyak organisasi Muslim atau pemerintah sendiri yang menetapkan awal Ramadhan. Untuk kasus India, tahun ini awal Ramadhan ditetapkan pada Selasa, 7 Mei 2019. Alasannya, otoritas di sini pada Ahad (5/5) masih belum bisa melihat bulan.

Saya ingat, waktu itu saya sempat ragu. Apakah ikut otoritas India atau Indonesia. Akhirnya, saya memutuskan ikut pemerintah Indonesia saja. Setidaknya, ada dua alasan yang jadi sandaran saya.

Pertama, banyak negara yang memulai puasa Ramadhan pada Senin, 6 Mei. Kedua, toh beberapa negara bagian di India juga memulai puasa Ramadhan pada 6 Mei.

Bagi banyak warga negara Indonesia (WNI) di India, agenda buka puasa bersama sudah menjadi kebiasaan yang favorit. Untuk di kawasan New Delhi, KBRI menyelengarakan acara tersebut secara rutin. Misalnya, pada Sabtu (11/5) malam. Sekaligus memperingati Hari Pendidikan Nasional.

Kumpul-kumpul dengan sesama WNI di perantauan memang menyenangkan. Namun, adakala muncul kerinduan terhadap Tanah Air tercinta.

Kalau sudah begini, masakan bisa jadi pelampiasan. Saya sudah mempersiapkan Ramadhan tahun ini dengan “bekal” dari Jakarta. Ada bumbu opor, rendang, sambal goreng, dan lain-lain. Supaya awet, disimpan di kulkas. Kapanpun keluarga bisa menikmatinya kala berbuka dan sahur.

photo
Prof Tjandra Yoga Aditama menunjukkan isi kulkasnya, yakni beberapa bumi masakan khas Tanah Air yang disimpan untuk panganan buka puasa dan sahur. (Dok Pri)

 

Tips Sehat

Secara fisik dan ilmu kesehatan, seseorang dapat berpuasa, kendati iklim tempat tinggalnya panas atau durasi puasanya lebih lama daripada di negeri asal. Saya pribadi punya lima resep untuk menjaga kesehatan selama bulan suci Ramadhan. Ini supaya sampai Idul Fitri nanti kondisi badan tetap fit dan, insya Allah, jiwa kembali fitri. Amiin.

Pertama, sahur yang cukup. Artinya, tubuh mesti diasup dengan makanan yang bergizi dan minum air mineral secara cukup.

Kedua, sedapat mungkin kita lama menghindari terpaan sinar matahari kala siang hari. Apalagi, di tempat saya tinggal. Seperti diungkapkan sebelumnya, suhu siang hari di New Delhi bisa menembus 40 derajat celcius.

Ketiga, jangan malas. Aktivitas fisik tetap dilakukan selama berpuasa. Setidaknya, jalan kaki ke kantor juga bagus. Bagi orang kantoran, jangan hanya duduk saja berjam-jam lamanya di depan komputer.

Keempat, berbuka puasa dengan secukupnya. Jangan jadikan buka puasa ajang “balas dendam” karena sudah menahan lapar dan dahaga belasan jam. Penuhi kebutuhan tubuh dengan makanan dan minuman yang bergizi.

Kelima, tentu yang paling penting, niatkan puasa Ramadhan semata-mata untuk meraih ridha Allah SWT.

 

*) Penulis adalah Prof dr H Tjandra Yoga Aditama, Mantan Kepala Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kini, dia bekerja di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kantor regional Asia Tenggara yang berkedudukan di New Delhi, India.

Terpopuler