REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar astronomi Prof Thomas Djamaluddin mengatakan, jadwal shalat selama ini sudah sesuai dengan ketentuan syar'i dan astronomi karena itu masyarakat tidak perlu risau dengan adanya riset yang menyebut waktu subuh di Indonesia terlalu dini dan waktu isya telat.

Menurut Thomas, ada beberapa faktor yang membuat data alat ukur cahaya langit SQM (Sky Quality Meter) menunjukkan posisi matahari lebih tinggi dari minus 20 seperti yang digunakan ISRN (Islamic Science Research Network). "Bisa karena beberapa sebab, misalnya jika SQM menunjukkan langit yang lebih terang, pengaruh polusi cahaya memperlambat pembelokan kurva cahaya," kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu melalui telepon, Ahad (12/5).

Selain itu, jika SQM menunjukkan kurva menurun kemudian naik lagi, itu menunjukkan ada cahaya bulan sabit tua, lalu bulan tertutup awan. Berikutnya, jika ada awan di ufuk Timur maka akan berdampak pada pelambatan titik belok.

Namun demikian, menurut Thomas yang juga anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, waktu subuh dan isya sesungguhnya termasuk fajar astronomi, saat cahaya bintang-bintang mulai meredup karena munculnya hamburan cahaya di ufuk Timur. "Per definisi, fajar astronomi terjadi saat matahari berada pada posisi rata-rata minus 18 derajat," kata dia.