REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menyatakan kondisi limbah plastik di Indonesia sudah sangat parah. Oleh karena itu, ia mendukung persetujuan Konvensi Basel, Rotterdam, Stockholm yang disepakati 187 negara bahwa perdagangan limbah plastik harus dikontrol.
Menurutnya persoalan limbah plastik harus memperoleh perhatian lebih besar dari pemerintah, dunia usaha, DPR, penggiat dan pemerhati lingkungan. Saat ini, kata dia, Indonesia termasuk salah satu negara dengan limbah plastik terbesar di dunia.
Oleh karena itu maka diperlukan pengaturan yang mengandung sanksi yang tegas dalam bentuk undang-undang atau pemerintah membentuk regulasi dibawah undang-undang. "Perlu koordinasi dan perencanaan yang terintegrasi diantara Lembaga Pemerintah seperti KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan lain-lain. Kami di Komisi VII DPR pasti mendukung," kata politikus Partai Nasdem itu kepada Republika.co.id, Ahad (12/5).
Kemudian, kemampuan untuk mengolah limbah plastik sangat diperlukan. Menurutnya saat ini Indonesia belum mampu mengolah limbah plastik. "Justru kita bisa export limbah plastik yang ada," ungkapnya.
Selain itu ia menambahkan, persoalan lingkungan hidup yang tidak kalah penting yaitu persoalan polusi udara terkait perubahan iklim. Ia menganggap perlu adanya peningkatan koordinasi antarlembaga pemerintah dalam mengatasi persoalan polusi udara terkait perubahan iklim. Indonesia sudah meratifikasi Paris Agreement, tetapi belum diikuti oleh regulasi teknisnya.
"Contoh, meski diketahui dan disadari bahwa PLTU Batubara sebagai salah satu sumber utama emisi KARBON, NOx, SOx dan debu namun Kementerian ESDM dan PLN terus bersikap masa bodoh tidak perduli. Mereka terus merencanakan membangun PLTU-PLTU Kapasitas besar diseluruh tanah air, khususnya di Pulau Jawa yang padat penduduk," jelasnya.