REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menyatakan autopsi verbal yang dilakukan oleh pemerintah melalui dinas kesehatan provinsi dalam menentukan penyebab kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kurang tepat. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih mengatakan, metode autopsi verbal disebut tidak memiliki keakuratan yang tinggi dalam menentukan penyebab kematian seseorang.
Autopsi verbal adalah suatu metode untuk mengetahui penyebab kematian melalui wawancara dengan anggota keluarga mengenai tanda-tanda dan gejala-gejala yang muncul sebelum seseorang meninggal. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah terstandar dan jumlah pertanyaan sebanyak 100 butir.
"Untuk menentukan sebab kematian, autopsi verbal tidak terlalu tinggi tingkat kevalidannya, apalagi didasarkan pada Peraturan Bersama Mendagri dan Menkes yang lebih dimaksudkan sebagai pendekatan administratif pencatatan kependudukan semata, bukan untuk mengungkap sebab akibat kematian yang terjadi secara beruntun dan memiliki implikasi yang luas," kata Daeng di kantor IDI Jakarta, Senin.
Daeng mengungkapkan, harus ada penelitian lebih mendalam untuk mengetahui sebab pasti kematian petugas KPPS. Bahkan dapat dimungkinkan dilakukan bedah mayat klinis yang didasarkan pada pasal 119 UU Kesehatan.
Bedah mayat klinis tentunya dilakukan dengan beberapa catatan, yaitu tujuan dilakukannya bedah mayat klinis ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan atau menyimpulkan penyebab kematian, dilakukan atas persetujuan keluarga terdekat jenazah, atau persetujuan bersama pemerintah daerah, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Kesehatan, hasil investigasi per tanggal 12 Mei pukul 18.00 WIB menyebutkan korban meninggal mencapai 445 korban jiwa dan sebanyak 10.007 orang sakit. Kematian paling banyak pada korban dengan usia 50-59 tahun yang disebabkan karena penyakit jantung dan strok.