REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mata uang Garuda terus melemah dalam beberapa pekan belakangan. Pada Senin (13/5) kemarin, rupiah bertengger di level Rp 14.362 per dolar AS melemah tipis dari akhir pekan lalu sebesar Rp 14.347 per dolar AS.
Pelemahan rupiah dalam waktu dua pekan terakhir telah mencapai sekitar 300 basis poin. Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsyah memastikan bahwa ini lebih karena faktor eksternal.
"Untuk hari ini lebih karena faktor eksternal, tidak ada (faktor internal atau domestik)," kata dia pada Republika, Senin (13/5).
Nanang menyampaikan pelemahan rupiah hari ini bersamaan dengan pelemahan mata uang regional dan seluruh negara emerging market. Melemahnya mata uang China yuan memicu pelemahan tersebut.
Melemahnya mata uang Cina terjadi karena eskalasi sengketa dagang sehubungan dengan rencana retaliasi tarif oleh Cina dan pengenaan tarif lanjutan oleh Amerika Serikat. Nanang mengatakan mata uang yuan menyentuh titik terendahnya sejak Desember 2018.
Sell off di pasar saham Asia juga hampir merata merah. Selain yuan, mata uang Korea Selatan, won, juga membawa mata uang Asia pada titik lemah. Obligasi luar negeri Indonesia pun tercatat mengalami penurunan.
"Untuk menjaga stabilitas rupiah, BI melakukan langkah stabilisasi di pasar obligasi, Domestic Non Delivery Forward (DNDF), dan spot," kata dia.
Nanang menyampaikan BI berkomitmen untuk menjaga kestabilan pasar uang Indonesia dengan aktif memantau kondisi pasar. BI melakukan langkah stabilitas agar nilai tukar rupiah terjaga.