REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usianya tak lagi muda, 83 tahun. Namun, kondisi fisik penyair senior Indonesia ini masih tampak prima. Taufiq Ismail menerima Republika.co.id dengan ramah di kediamannya, Jalan Utan Kayu Raya Nomor 66, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 25 Juni 1935 silam. Ayahnya, KH Abdul Gaffar Ismail, merupakan seorang ulama kharismatik sekaligus pejuang kemerdekaan nasional. Disebut “kiai” karena pendakwah kelahiran Jambu Air, Bukittinggi, itu puluhan tahun menyebarkan ilmu-ilmu agama di Pekalongan, Jawa Tengah. Bersama dengan sang istri tercinta—yakni ibunda Taufiq— Siti Nur Muhammad Nur (Tinur).
Sewaktu muda, Kiai Gaffar alumnus Sumatra Thawalib, seangkatan dengan Buya Hamka. Adapun Tinur termasuk angkatan pertama Diniyah Putri Padang Panjang. Keduanya aktivis muda Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), partai yang terbentuk tahun 1930 dengan ideologi modernisme Islam dan nasionalisme.
Pemerintah kolonial Belanda sangat tidak nyaman dengan aktivitas PERMI. Banyak tokoh senior partai ini yang dibuang ke Digul (Papua). Sebut saja, Mochtar Luthfi, Iljas Ja’coub, dan H Djalaluddin Thaib. Tak hanya para pria, tokoh-tokoh perempuan juga. Rasuna Said dan Rasimah Ismail (adik Kiai Gaffar) dipenjara di Semarang enam bulan lamanya.
“Kalau tokoh PERMI senior dibuang ke Digul, maka yang termuda, A Gaffar Ismail diusir ke luar Minangkabau. Sebutan (hukuman) ini, passen-stelsel. Pak Gaffar yang baru menikah dengan Bu Tinur memilih Pekalongan sebagai tempat pembuangan mereka. Keluarga muda ini lantas diterima baik masyarakat (Pekalongan) sejak datang tahun 1934,” tutur Taufiq Ismail.
Pertama Kali Namanya Masuk Koran
Taufiq Ismail menuturkan bagaimana persentuhannya pertama kali dengan kesusastraan. Sastra erat kaitannya dengan kebiasaan membaca dan menulis. Dua hal itu sudah diterapkan keluarganya.
Pada zaman Jepang, Taufiq menjelaskan, ayahnya bekerja sebagai wartawan di Semarang (Jawa Tengah) pada harian Sinar Baroe. Saat itu, keluarga A Gaffar tinggal di Redjosari, Gang I, Nomor 6. Taufiq mengenang, pada masa itu dia masih murid sekolah dasar (Sekolah Rakyat) di Bergota.
Taufiq biasa mendapati ayah dan ibunya sedang duduk tiap malam membaca buku-buku di ruang tengah.
“Ada kebiasaan sekali sebulan, ayah pergi ke toko buku di Pasar Djohar. Saya diboncengnya naik sepeda. Saya diperbolehkan mengambil dua buku untuk dibeli (dibawa) pulang. Tiap ke toko buku, saya ke bagian (buku-buku) anak-anak. Dua buku saya simpan, dua buku lainnya saya baca di tempat,” kenang Taufiq.
(Bersambung)