Selasa 14 May 2019 06:33 WIB

Mulanya Penyair Taufiq Ismail Mencintai Sastra (2)

Inilah tulisan penyair Taufiq Ismail yang pertama kali tembus koran

Penyair Taufiq Ismail saat berbincang dengan Republika di rumahnya, Jalan Utan Kayu Raya, Jakarta, Rabu (24/4).
Foto: Republika/Hasanul Rizqa
Penyair Taufiq Ismail saat berbincang dengan Republika di rumahnya, Jalan Utan Kayu Raya, Jakarta, Rabu (24/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di jajaran redaksi Sinar Baroe, Abdul Gaffar (ayahanda penyair Taufiq Ismail) bertugas sebagai pembuat tajuk rencana. Taufiq kecil suatu kali terkejut karena melihat nama ayahnya di halaman koran tersebut. Saat itu, dia berpikir polos, alangkah hebatnya bisa menulis di media massa. Dengan nama yang tercantum di sana, sudah pasti terkenal di mana-mana.

Taufiq kecil pun ingin coba-coba menulis di koran. Untuk tulisan sepanjang dan seserius tajuk rencana, tentu saja tidak berani. Bagaimana dengan karya sastra?

Baca Juga

Waktu itu, ibunya juga pernah menerbitkan sejumlah pantun di rubrik khusus perempuan yang terbit tiap akhir pekan. Taufiq pun merasa berat harus membuat karya yang panjang-panjang. Pilihan terakhirnya hanya satu: menulis gurindam.

Berbeda dari pantun. Sebuah gurindam terdiri atas dua baris saja cukup. Berbekal keinginan melihat nama sendiri tercantum di halaman koran, Taufiq kecil bersemangat. Dia mau karyanya terbit di rubrik anak-anak Suara Baroe.

Selesai menulis, Taufiq menaruh naskah gurindam karyanya itu di atas meja, di ruangan redaksi kantor ayahnya. Naskah ini dilihat seorang wartawan muda, Gadis Rasjid, yang lantas bertanya, “Karya siapa ini, kok begini tulisannya?”

“Itu buatannya anaknya Pak Gaffar,” sahut seorang wartawan lain, Heitami, namanya. Demikian kenang Taufiq.

“Tentu saja karangan saya itu kemudian dimuat. Besoknya, saya lihat di koran, benar karya saya muncul dan ada nama saya juga. Rasanya waktu itu saya seperti terbang ke langit, gembira betul,” tutur suami Esiyati “Ati” Ismail itu.

“Saya tidak sabar rasanya (waktu itu) segera hari esok, untuk pergi ke sekolah. Paginya, saya bawa koran itu, lalu tunjukkan kepada teman-teman. Waduh… Kemudian saya dikerumuni.

Teman-teman heboh di kelas. Pecah kabar itu di sekolah. Saya tiba-tiba jadi selebriti, terkenal. Haha… Waktu itu, saya kelas dua SD, tahun 1943, masih zaman penjajahan Jepang,” jelasnya.

Taufiq ingat, seorang gurunya, Pak Darmo lantas membawanya menemui kepala sekolah pada jam istirahat. Di depan para guru, dia diberi ucapan selamat. Sesampainya di rumah, ayah dan ibunya juga menyampaikan nasihat.

“Nasihat dari ayah saya dan ibu saya, ‘Ya baguslah kamu Taufiq, tapi kamu jangan sombong, alhamdulillah, kamu sudah menulis dan dimuat di surat kabar. Sekarang, supaya makin banyak tulisanmu dimuat, rajin-rajinlah membaca.’ Itu pesannya,” ujar dia.

(Bersambung)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement