REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Taufiq Ismail menjalani masa kecil dengan berpindah-pindah tempat. Awalnya, dia bersekolah dasar di Solo, kemudian pindah ke berturut-turut Semarang, Salatiga, dan Yogyakarta. Pendidikan SMP ditempuhnya di Bukittinggi. Adapun SMA di Bogor, lalu Pekalongan, hingga berhasil meraih beasiswa ke Amerika Serikat.
Pada 1950-an, kakak dari Zuhaida “Ida” Ismail Nasution dan Rahmat Ismail itu duduk di kelas 1 SMP. Kegemarannya membaca tetap terpelihara. Sayangnya, tak ada fasilitas yang cukup bagus di sekolah, semisal perpustakaan.
Kebetulan, suatu kali Djawatan Pendidikan Masyarakat di Pekalongan mengajak tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk mengelola perpustakaan kecil. Buku-bukunya mereka pasok, sehingga tiap rumah hanya perlu menyediakan tempat dan rak-rak. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) mendapatkan kesempatan itu. Taufiq menyebut, ada kira-kira tiga ratus buku yang disediakan.
Waktu itu, keluarga Kiai Gaffar sudah bermukim di rumah dengan halaman yang cukup lapang di Jalan Kejaksaan 52. Karena itu, para pengurus PII menggelar perpustakaan kecil itu di halaman rumahnya. Jadilah Taufiq muda dan seorang temannya dipercaya mengelola. Perpustakaan ala kadarnya itu buka tiap Ahad.
Kunci lemari-lemari buku dipegang Taufiq Ismail saat itu. Jadilah dia leluasa melahap buku-buku bacaan 24 jam sehari, 7 hari sepekan.
Di antara buku-buku favoritnya adalah serial petualangan Winnetou (karya Karl May); sajak-sajak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang; cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya; serta antologi karya Gema Tanah Air yang diasuh HB Jassin. Tak ketinggalan, novel-novel Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Marah Roesli, dan sebagainya.
Berawal dari kesempatan mengelola perpustakaan kecil, Taufiq dan kawan-kawan SMA-nya berinisiatif mengadakan diskusi kecil. Mereka disatukan kegemaran membaca buku-buku sastra, termasuk majalah-majalah sastra semisal Mimbar Indonesia dan Kisah yang dipunggawai HB Jassin. Waktu itu, masing-masing mereka berlomba-lomba mengirimkan karya terbaiknya agar dimuat di dua terbitan itu.
Sajak-sajak Taufiq Ismail mulai tembus sehingga dimuat di sana. Demikian pula dengan lima orang kawannya, yakni Muhsin Djalaluddin Zuhdy, Hadi Utomo, Sukamto AG, dan SN Ratmana. Menurut Taufiq, ada beberapa hikmah dari klub bacaan seperti itu.
Anak-anak SMA menjadi ter-stimulus untuk gemar membaca dan berlatih menulis, meski tanpa bimbingan guru.
Taufiq menyebut, generasinya terbiasa dengan cara-cara mandiri demikian saat usia SMA. Bahkan, beberapa nama besar sastra Indonesia, semisal Ajip Rosidi dan Motinggo Busye sudah mulai menulis dan terbit karyanya di koran-koran sejak SMP.
(Bersambung)