REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW menganjurkan, “Pilihlah nama yang baik dan indah bagi anak-anakmu.” Maka, tak heran jika kemudian beliau mengubah nama-nama orang yang dianggapnya tidak pantas. Menurut Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, perhatian terhadap nama mungkin bermula dari kepekaan pada nama Allah SWT dalam Alquran.
Biasanya, umat Islam di jantung bumi Islam mengikuti penamaan yang berlaku pada awal zaman Islam. Satu-satunya nama yang diberikan adalah nama diri karena Alquran memerintahkan, “Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka.” Nama kedua yang melekat pada seseorang adalah nama ayahnya dan ketiga nama kakeknya.
Jarang ada variasi sebab hukum waris Muslim terkait pada aturan ini dan pengakuan harus disahkan menurut aturan tersebut. Keharusan ini ditetapkan pada anak laki-laki maupun perempuan. Secara hukum, anak perempuan juga tetap menggunakan nama ayahnya, bahkan setelah ia menikah.
Dengan pertimbangan penting bagi sebuah identitas, muncul berbagai nama untuk nama pertama seorang Muslim. Kaum Sunni memilih nama Muhammad atau tiga khalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar, dan Usman, sedangkan kaum Syiah memilih nama Ali atau tokoh penting lain dalam sejarah mereka.
Nama-nama untuk anak perempuan tidak menampakkan perbedaan sekte, kecuali mungkin Aisyah. Nama lain yang banyak digunakan mencerminkan nama-nama Allah yang diawali dengan Abd atau hamba dari. Misalnya, Abd al-Rah man. Yusuf al-Qaradhawi dalam buku nya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, juga membahas hal ini.
Dia mengatakan, setiap nama yang menggunakan Abd dan disandarkan kepada selain Allah hukumnya haram meski itu adalah nabi, sahabat, orang saleh, ataupun wali. Dengan demikian, seorang Muslim tak boleh menyandang nama Abd Nabi, Abdul Husein, atau Abdul Ka’bah.
Ibnu Hazm yang dikutip al-Qaradhawi juga menegaskan bahwa para ulama sepakat terhadap haramnya setiap nama yang menggunakan Abd dirangkai dengan selain nama-nama Allah. Modernitas pada akhirnya berpengaruh pula pada nama pertama dan kenyataan itu, misalnya, terjadi di Turki sejak terjadi sekularisasi.
Sejak 1970-an, di sana muncul nama-nama yang bukan identitas Islam, seperti Lenin dan Russa yang mengungkap paham politik atau Misra atau Makkah untuk tempat. Ada pula Muslim yang diberi nama sesuai nama orang kenamaan, sebut saja Umm Kultsum atau Nashir.
Nama yang merupakan pengakuan khusus termasuk gelar tak sedikit di gunakan di kebanyakan negara Muslim. Syekh, syah, aga, atau beg dan haji, atau hajah adalah contoh kelompok nama tersebut. Upaya menyesuaikan diri dengan cara Barat, kelompok profesio nal di negara Muslim memendekkan namanya, Sid untuk Sa’id.
Di kalangan Hui di Cina, hanya nama marga yang mencerminkan keturunan Muslim. Pada awal perluasan Islam ke Cina, nama Muhammad dipendekkan menjadi Ma. Ini seperti nama marga yang sudah ada di sana.
Bagi Muslim Cina, ketentuan penamaan tak sama dengan yang ada di Arab, maka nama pertama disesuaikan dengan tradisi setempat.
Terlepas adanya pengaruh dari luar maupun tradisi, penamaan dengan nama Muslim merupakan identitas pen ting. Mualaf di seluruh dunia sering menggunakan nama Muslim, menggantikan nama mereka sebelumnya.