REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Sabotase empat kapal tanker minyak di Teluk Persia telah meningkatkan kekhawatiran atas ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat. Sebab, serangan sabotase tersebut terjadi ketika Amerika Serikat (AS) memperketat sanksi terhadap Iran. Apalagi, AS telah mengerahkan kapal induk dan kapal pengebom ke wilayah perairan tersebut.
Dua kapal tanker minyak milik Arab Saudi telah menjadi korban sabotase di dekat Selat Hormuz. Empat kapal milik Uni Emirat Arab (UEA) juga ikut menjadi korban sabotase. Selain itu, perusahaan Norwegia, Thome Group menyatakan, kapalnya telah diserang oleh benda yang tidak dikenal di perairan yang sama.
Melalui gambar yang diunggah secara online, kapak tanker Norwegia yakni Andrea Victory tampak ada sayatan-sayatan di badan kapal. Sebuah organisasi industri kapal tanker internasional, Intertanko, mengatakan dalam sebuah pernyataan, perwakilannya telah melihat bukti foto bahwa setidaknya dua kapal memiliki lubang di sisi mereka karena dampak terkena senjata.
Hingga saat ini belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas sabotase tersebut. Kementerian Luar Negeri UEA menyatakan, pihak terkait kini masih menyelidiki peristiwa tersebut.
Pemerintahan Trump berpendapat, Iran telah memobilisasi kelompok-kelompoknya di Timur Tengah untuk menyerang pasukan AS. Hal itu sebagai reaksi atas sanksi ekonomi AS yang semakin keras terhadap Iran.
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir Iran melancarkan ancaman untuk memblokir lalu lintas laut yang melalui Selat Hormuz. Ancaman tersebut sebagai reaksi atas sanksi dan ketegangan antara Iran dengan negara-negara Barat serta Arab Saudi.
"Kami sangat khawatir tentang risiko konflik yang terjadi secara tidak sengaja, dengan eskalasi yang tidak diinginkan benar-benar di kedua sisi," kata Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt, kepada wartawan di Brussels, dilansir New York Times, Selasa (14/5).
"Saya pikir yang kita butuhkan adalah masa tenang untuk memastikan bahwa semua orang mengerti apa yang dipikirkan pihak lain," ujar Hunt menambahkan.
Para pejabat AS mencurigai Iran terlibat dalam sabotase tersebut, namun hingga saat ini belum ada bukti-bukti definitif yang menguatkan. Administrasi Maritim AS pada Kamis lalu memperingatkan adanya peningkatan ancaman dari Iran di Laut Merah, Selat Bab el-Mandeb, dan Teluk Persia. Mereka menyatakan, ada kemungkinan bahwa Iran menargetkan tanker minyak, kapal komersial, atau kapal militer milik AS serta sekutunya. Sementara, intelijen Israel telah memperingatkan AS dalam beberapa hari terakhir tentang rencana Iran untuk menyerang kapal Saudi.
Iran menepis anggapan bahwa mereka berada di balik sabotase kapal tersebut. Dilaporkan IRNA, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi memperingatkan, adanya konspirasi tersebut dapat merusak stabilitas dan keamanan di kawasan tersebut. Dia mengaku prihatin atas sabotase yang terjadi di Selat Hormuz.
Selat Hormuz merupakan jalur terpenting untuk pengiriman minyak dunia. Sekitar 40 persen minyak mentah dunia diangkut melalui jalur tersebut, termasuk eksportir minyak utama seperti Kuwait dan Arab Saudi. Ancaman dan gangguan yang terjadi di Selat Hormuz telah membuat pedagang minyak khawatir. Sejak kejadian sabotase pada Senin lalu, harga minyak sempat naik lebih dari 2 persen.
Para pakar energi mengatakan, Fujairah merupakan pelabuhan yang strategis dan sangat signifikan, sehingga tidak mungkin ada serangan terjadi secara kebetulan. Fujairah adalah untuk terminal pipa yang dibangun untuk memotong Selat Hormuz. Jalur itu bisa menumpulkan ancaman Iran untuk memblokir selat.
"Jika ada tempat di Teluk Persia, ini adalah tempat untuk membuat pernyataan, pernyataan yang sangat tumpul untuk mengatakan bahwa kami tidak memilih tempat ini secara acak," kata analis senior di Pusat Urusan Publik Yerusalem, Miki Segal.