REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Semakin menjamurnya penganan modern membuat penganan khas daerah semakin langka. Hal ini terpantau pada menu-menu yang tersedia pada lapak-lapak Pasar Ramadhan dalam Kota Bandar Lampung. Sekubal, salah satu makanan khas Lampung sudah mulai terasing di antara jajanan takjil Ramadhan.
Di beberapa pasar kaget Ramadhan besar di Bandar Lampung yang Republika kunjungi, sulit mendapatkan sekubal. Padahal, makanan berbahan ketan bercampur santan yang berbalut daun pisang tersebut sangat gurih jika disantap pada saat berbuka puasa.
Satu demi satu lapak pasar Ramadhan di Enggal, Way Halim, dan Telubetung ditelusuri. Tak satu pun penjual takjil menyajikan sekubal. Pedagang tak menjual makanan khas karena peminatnya mulai surut apalagi saat Ramadhan.
Hari berikutnya, Republika menelusuri lagi lapak-lapak takjil di sisi jalan kawasan Enggal, Bandar Lampung. Salah seorang pedagang menjajakan hanya beberapa buah sekubal. Itupun berada di selipan makanan berbuka lainnya.
Seorang ibu menjual sekubal di tengah menjamurnya penganan modern yang akan diburu pengunjung. “Jarang yang cari makanan seperti ini. Sekubal ini titipan orang dan juga hanya beberapa saja tidak banyak,” tutur Weni, penjual takjil di kawasan Enggal, beberapa waktu lalu.
Pedagang takjil Ramadhan di kawasan Enggal menjual sekubal dengan harga Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu per potong. Terkadang sekubal yang dijajakan tidak juga laku, karena peminatnya tidak ada. Masyarakat yang datang rata-rata membeli panganan untuk berbuka sehari-hari, bukan makanan khas Lampung seperti sekubal.
Sekubal adalah makanan khas Lampung yang terkenal sejak ratusan tahun lalu. Makanan ini sering disajikan saat Ramadhan termasuk pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Cara makannya pun disajikan bisa dengan rendang atau opor dicocol. Menyantap sekubal secara terpisah juga sama enaknya.
Orang Lampung menyebutnya sekhubal atau dibaca segubal. Penganan ini biasanya dinikmati secara turun temurun saat Lebaran. Sekubal terbuat dari ketan dicampur santan kelapa lalu dibungkus daun pisang atau bisa juga daun kelapa. Campuran ketan dan santan yang dibalut daun ini direbus dua jam lalu dibakar.
Sekubal memiliki rasa yang berbeda gurihnya saat dicocol dengan sambal, bumbu rendang, serundeng, dan sayur pedos. Sekubal mirip dengan lepet di Jawa, tapi berbeda bahan dan cara pembuatannya.
Memasak sekubal bisa memakan waktu empat jam agar rasanya legit dan gurih. Memasak penganan tradisional ini harus memiliki keahlian khusus dalam merendam ketan, menanak, mencetak dalam daun pisang, serta memasaknya.
Ida, ibu rumah tangga asal Padang Cermin, mengatakan sekubal saat ini hanya diketahui oleh para orang tua. Generasi muda sudah tidak mengenal lagi apalagi hobi menyantap sekubal. Ini karena sudah tidak ada lagi yang mau membuat sekubal di rumah-rumah. “Hanya orang tua zaman dulu yang masih mau buat sekubal,” katanya.
Menurut dia, biasanya masih ada yang menjual sekubal secara berkeliling di komplek perumahannya kendati amat jarang. Jika ada yang mengidam atau yang ingin makan sekubal, maka sulit mencarinya baik di mall, toko makanan, atau di lapak jajanan pasar. Terpaksa, menyuruh orang tua membuatnya walaupun rumit dan membutuhkan waktu yang lama.
Selain disajikan pada menu untuk berbuka dan sajian Lebaran, sekubal juga baru keluar dan dapat dinikmati warga pada acara pernikahan atau acara adat dan budaya lainnya. Termasuk acara-acara pemerintah daerah dalam memperingati hari-hari besar dan hari jadi daerah.
Penganan khas Lampung ini sudah banyak ditinggalkan generasi muda terutama kaum milenial. Beberapa waktu lalu, untuk mengenalkan makanan khas Lampung, Dekranasda Kota Bandar Lampung menggelar makan sekubal terbanyak di Lapangan Merah, Enggal.
Saat itu, Eva Dwiana Herman, istri Wali Kota Bandar Lampung yang juga ketua Dekranasda Kota Bandar Lampung menyiapkan 15 ton ketan. Menurut Eva, gelaran tersebut salah satu sumbangsih Dekranasda yang ingin melestarikan makanan khas dan kue tradisional di Lampung seperti kue legit, seruit, dan sekubal.