REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain tradisi berbagi hidangan berbuka dan sahur, ada satu lagi kebiasan istimewa khas Ramadhan. Kegiatan itu, membangunkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah sahur.
Aktivitas ini di Tanah Air dikenal dengan berbagai sebutan. Salah satunya ialah Grebek Sahur, bisa dilakukan perseorangan ataupun berkelompok. Kebanyakan dilakukan secara sukarela. Tanpa ada pungutan biaya.
Lantas, seperti apakah tradisi membangunkan sahur tumbuh dan berkembang di Dunia Islam luar negeri?
Prof Hindun Badari dalam makalahnya yang berjudul “al-Mushirati min Duqqat at-Thabul ila al-Insyad wa al-Aghani” mengemukakan seluk-beluk dan asal-muasal tradisi tersebut.
Aktivitas yang pada mulanya dilakukan sukarela itu dikenal dengan berbagai julukan.
Di Arab Saudi, pelakunya dijuluki az-zamzami. Di Kuwait, pelakunya disebut Abu Thubailah. Sementara, di Mesir akrab dikenal dengan sebutan al-mushirati. Mereka memiliki gaya, media, dan yel-yel masing-masing, sesuai tabiat tiap negara.
Ada yang membawa anak mereka ikut serta. Sebagiannya dibekali daftar nama masing-masing penduduk. Mereka berkeliling dan mengetuk tiap pintu. Ada pula yang sekadar membawa alat musik seperti gendang.
Mereka memainkannya disertai dengan lagu-lagu bernada sederhana. Liriknya berisikan ajakan dan seruan untuk bangun sahur.
Sudah Sejak Zaman Rasul SAW
Kapankan tradisi ini muncul? Hindun menjelaskan, cikal-bakal aktivitas membangunkan sahur itu telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Ketika itu, azan yang dikumandangkan oleh Bilal bin Rabah menjadi penanda waktu berbuka.
Pada masa itu, waktu sahur patokannya ialah azan yang dikumandangkan Abdullah bin Ummi Maktum. Ini yang melatarbelakangi hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Bilal azan menjelang malam, maka makan dan minumlah hingga mendengar azan Ibn Umm Maktum.”
(Bersambung)