REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Dari alam, kata Aldo Leopold, seorang pengasas ekosentrisme itu, masyarakat membentuk budaya. Budaya yang segan silu penuh cinta, budaya terbuka, sikap harmoni tiada tara, laksana siulan daun keladi di malam gulita.
Kini, hubungan Riau dan gambut seolah tak lagi harmoni. Sengkarut masalah dan keserakahan manusia memaksa gambut menjadi ladang bara api. Kebakaran hebat menjadi masalah yang sulit namun harus diatasi. Yang tak hanya bisa pasrah melihat kampung mereka menjadi penyumbang tragedi kabut asap menyelimuti negeri.
Dua dekade sudah, Bumi Lancang Kuning Riau menjadi sorotan saat musim kering tiba. Di Riau, musim kering itu berarti bencana. Seketika harus ada yang rela berkorban, atau bahkan "dikorbankan" untuk menghadapi itu semua.
3 Januari 2019 di Pulau Rupat. Halimun pagi tak lagi berisi embun segar. Aroma lahan gambut terbakar, yang begitu khas dengan cepat menyebar. Membuat dada serasa sesak berdebar. Telepon genggam Kepala Operasi Manggala Agni Daerah Operasi Dumai, Jusman tak berhenti berdering. Jauh diujung telepon, masyarakat meminta bantuan lahan desa mereka tiba-tiba terbakar.
"Saya ingat betul itu, tanggal 3 Januari. Ada laporan masyarakat yang minta tolong. Lahan di Rupat terbakar. Kemudian ada laporan Dumai juga terbakar," kata Jusman, Rabu (15/5).
Pria paruh abad itu bertindak cepat. Seluruh kekuatan yang ada di Pulau Rupat, Bengkalis dan Dumai digerakkan. Utamakan keselamatan, adalah dua kata yang disematkan kepada seluruh punggawa.
Rupat merupakan salah satu Pulau yang berada di bibir Selat Malaka. Secara administratif, wilayah itu masuk ke dalam Kabupaten Bengkalis. Namun, lokasinya lebih dekat dijangkau dari Kota Dumai. Pulau itu persis dimuka Kota Dumai.
Ditilik dari letak geografis, jelas itu sebuah masalah jika Jusman salah langkah. Riau sudah bertekad, pantang untuk mempermalukan wajah Ibu Pertiwi. Tidak ada lagi kabut asap yang membuat negera tetangga mencuap-cuap.
Seluruh tim Manggala Agni bergerak. Mereka meninggalkan cinta dan keluarga, menapakkan kaki ke lokasi bencana. Bertarung berjibaku menaklukkan panasnya api membara.
Manggala Agni, atau dikenal sebagai Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (BRIGDALKARHUT) merupakan unit khusus di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mereka mengemban tugas berat, menjaga Riau dan Indonesia bebas Karhutla.
Dumai merupakan salah satu dari empat Daerah Operasi (Daops) Manggala Agni di Riau, selain Kota Pekanbaru, Rengat dan Siak. Setiap Daops meliputi sedikitnya tiga kabupaten. Daops Dumai misalnya, wilayah kerja mereka mencakup Kabupaten Rokan Hilir dan sebagian Bengkalis seperti Rupat dan Pinggir.
Masih terukir segar diingatan pada awal 2019, Riau langsung disambut kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Cuaca panas yang terjadi sejak akhir tahun sebelumnya membuat gambut yang menutupi 50 persen wilayah Riau menjadi kering. Sejak zaman kesultanan Siak, sebenarnya masyarakat Riau sudah bersahabat dengan gambut. Mereka hidup berdampingan karena saling membutuhkan.
Namun, kondisi berubah seketika saat pengelolaan gambut menjadi salah. Itu terjadi sekitar 1990 an silam. Mulai saat itu, gambut menjadi begitu mudah marah. Dan jika telah marah, maka semuanya harus menerima dampaknya. Meskipun bagi masyarakat tak berdosa.
Mendapat laporan langsung dari masyarakat, Jusman segera membagi tim Manggala Agni Daops Dumai. Kekuatan 60 pendekar api Manggala Agni, dibagi dua tim besar dikirim ke medan perang. Cepat, sebelum dia mengganas. Sebagian dikirim menyeberang ke Pulau Rupat dan sebagian lainnya dikerahkan di pinggiran Kota Dumai.
Jusman sendiri langsung menjadi komando pemimpin regu. Selang-selang dengan berat puluhan kilogram dipikul. Begitu juga mesin pompa air yang sangat menguras tenaga harus dibawa.
Dengan tekad kuat dan semangat membara, dia berharap kebakaran dapat ditumpaskan. Namun, kepala api menyemburkan lidah bara yang menjulang tinggi. Asap dan debu juga menyeruak dengan mudah menusuk hidung. Panas terik dan angin siang berhembus kencang, sementara sumber air jauh seperti balang. Sepertinya kebakaran akan sulit untuk dikendalikan.
Di Dumai, mereka berjibaku hingga malam. Korps Manggala Agni yang terdiri dari dua regu di Desa Pergam, Rupat juga sama. Mereka melawan kepala api. Mereka sadar tak akan bisa menaklukkan api seketika. Tim akhirnya menentukan barak. Sebuah rumah papan milik warga dijadikan tempat rehat, sementara mengembalikan semangat untuk keesokan harinya.
Sadar kekuatan tak sepadan, Jusman meminta bantuan. Seluruh Daops yang ada di Siak, Rengat dan Pekanbaru keesokan harinya tiba. Dua pekan lamanya mereka melawan panasnya Karhutla yang mengancam pemukiman dan perkebunan warga.
Memang perjuangan melawan ganasnya Karhutla di Rupat dan Dumai tak mudah. Pemerintah Provinsi Riau kemudian menetapkan status Siaga Karhutla pada Februari 2019. Satgas Karhutla kemudian dibentuk. TNI-Polri, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau serta instansi lainnya akhirnya bergabung dengan Manggala Agni di Rupat dan Dumai.
Rupat menjadi wilayah yang paling luluh lantak dihajar ganasnya api kebakaran. Gambut cepat menyebar, namun kesigapan Manggala Agni dan tim gabungan TNI-Polri serta kerja keras anggota Satgas lainnya berhasil menekan luasan areal kebakaran.
Petugas Manggala Agni berupaya memadamkan api yang membakar lahan gambut di kawasan Rimbo Panjang, Tambang, Kampar, Riau, Selasa (1/9). (Republika/Tahta Aidilla).
Manggala Agni sebagai benteng pertama
Wakil Komandan Satgas Karhutla Riau, Edwar Sanger mengakui peran Manggala Agni lebih besar dari jumlah personel yang dimiliki. Manggala Agni menjadi benteng pertama melawan Karhutla di setiap sudut Provinsi Riau.
Manggala Agni juga berperan penting dalam menekan luas kebakaran lahan di Provinsi Riau secara drastis. Dua tahun sudah wilayah itu lepas dari jerat status ekspor asap. Bandara tak lagi lumpuh, meski mereka semua harus memeras peluh.
Berdasarkan data yang ditampilkan KLHK sipongi.menlkh.go.id, luas Karhutla di Riau pada 2015 mencapai 183.808 hektare. Saat itu Riau collapse. Tak terhitung korban ISPA berjatuhan. Kerugian ekonomi yang begitu besar juga tak terelakkan. Keadaan terus membaik ditahun-tahun selanjutnya.
Tugas Manggala Agni yang semua menjaga kawasan konservasi diperluas. Direktur Pengendalian Karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Raffles Pandjaitan mengungkapkan paradigma kerja pengendalian Karhutla yang bergeser dari pemadaman menjadi pencegahan juga menjadi kunci utama penurunan hotspot (titik api) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di Indonesia.
Hasilnya 2015 menjadi tahun terburuk terakhir yang dihadapi Riau. Pada 2019 ini, Karhutla berhasil ditekan signifikan hingga berkisar 2.900-an hektare.
Raffle menyebut peran Manggala Agni sangat besar. Tanpa kenal lelah dan terpaksa meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama, mereka terus berusaha memastikan Karhutla diatasi. Meski jumlah personel Manggala Agni di Riau hanya sekitar 200 an personel, namun semangat mereka dapat menjaga areal kerja yang mencapai 11 juta hektare.
Meski begitu, penanganan terpadu melalui Satgas yang saban tahun menjadi senjata Riau melawan Karhutla harus terus ada. "Jika hanya mengandalkan Manggala Agni saja jelas kurang. Karenanya pengendalian Karhutla harus ditangani secara bersama-sama," katanya.