REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Para pejabat dan orang tua di Sri Lanka berharap sekolah-sekolah Katolik yang dikelola oleh gereja bisa segera dibuka kembali untuk pertama kalinya pasca serangan bom pada Minggu Paskah, April lalu. Meskipun sekolah-sekolah pemerintah sudah dibuka kembali, sekolah Katolik masih tetap diliburkan karena khawatir akan menjadi target sasaran serangan lanjutan.
Uskup Agung Kolombo, Kardinal Malcolm Ranjith mengatakan, diria mendapatkan informasi dari sumber asing yang terpercaya bahwa akan ada serangan bom susulan di sebuah gereja yang terkenal di Sri Lanka. Pihak gereja mengkonfirmasi bahwa memo itu pertama kali muncul di media sosial.
Meski sekolah-sekolah Katolik masih ditutup, Ranjith memberikan izin kepada administrator sekolah Katolik Sri Lana untuk membuka kembali kelas secara individu dan berkoordinasi dengan pejabat keamanan setempat. Rangika Perera, seorang guru di sebuah sekolah Katolik mengatakan, membuka kembali sekolah-sekolah dan gereja-gereja adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa umat Katolik Sri Lanka tidak dikalahkan oleh terorisme.
"Mereka ingin menghalangi kita dalam segala hal dan kita seharusnya tidak membantu mereka berhasil karena rasa takut kita," kata Perera, Rabu (15/5).
Pendeta Ivan Perera, yang bertanggung jawab atas sekolah-sekolah Katolik di Sri Lanka mengatakan, para administrator sekolah Katolik telah mengirim paket belajar kepada anak-anak melalui email bersama denga dengan latihan soal untuk berbagai mata pelajaran. Menurut Pendeta Perera, para siswa sekolah Katolik sangat trauma dan mengalami ketakutan.
"Dibutuhkan sedikit waktu bagi mereka untuk kembali ke keadaan normal. Sangat disayangkan bahwa pada usia ini anak-anak harus mengalami trauma dan ketakutan," ujar Pendeta Parera.
Menurut Pendeta Perera, sekitar 10 hingga 15 siswa sekolah Katolik tewas dalam ledakan itu, termasuk delapan anak perempuan dari sekolah biara yang sama di Negombo. Oleh karena itu, ketika sekolah dibuka kembali, administrator akan menawarkan bantuan psikologis dan spiritual kepada siswa. Meskipun di Sri Lanka pernah terjadi perang saudara selama puluhan tahun dan berakhir pada 2009, generasi muda di negara tersebut tidak pernah mengalami serangan bom atau melihat tentara bersenjata yang berjaga di sudut-sudut jalan.
"Selama 10 tahun terakhir, tidak ada hal-hal ini. Semuanya baru bagi mereka, pos pemeriksaan dan hal-hal lain benar-benar baru bagi mereka. Sebagai orang tua kita harus khawatir tentang keamanan," ujar Anushka Wijeyeratne, seorang ibu yang memiliki dua putri yang bersekolah di sekolah Katolik.
Orang tua mengatakan bahwa, mereka lebih memercayai kepemimpinan gereja daripada pemerintah ketika menyangkut keselamatan anak-anak mereka.
"Pemerintah telah gagal dan kami tidak memiliki kepercayaan pada pemerintah dalam aspek itu," kata Wijeyeratne.
Saat ini ada sekitar 40 sekolah yang dikelola oleh Gereja Katolik Sri Lanka. Pada 1960-an, negara menasionalisasi ratusan sekolah Katolik di tengah gelombang paska kemerdekaan.