REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu penyumbang defisit neraca perdagangan pada April ini adalah sektor migas. Tercatat defisit neraca dagang migas 1,49 miliar dolar AS. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menilai hal ini terjadi lantaran adanya tak tercapainya lifting minyak pada kuartal pertama 2019.
"Lifting enggak sesuai asumsi APBN sementara permintaan terus meningkat. Dari sisi produksi, kita lihat migas cukup stagnan," ujar Sri Mulyani di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (15/5).
Dari sisi permintaan dalam negeri, volumenya naik. Namun, Sri tak mengelak meningkatnya permintaan atas migas maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Sri juga mencatat beberapa upaya Pertamina dan Kementerian ESDM dalam menekan defisit migas ini. Ia menilai langkah langkah seperti program B20, membeli minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan terlihat dampaknya pada neraca perdagangan Mei dan Juni mendatang.
"B20 kan sudah introduced, kemarin Pertamina sudah mulai lakukan penyerapan minyak dalam negeri. Jadi nanti kita lihat apa yang terjadi," ujar Sri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca dagang pada April 2019 berasal dari defisit neraca dagang migas 1,49 miliar dolar AS dan nonmigas 1,0 miliar dolar AS. Defisit ini menjadi defisit pertama sejak Januari, dimana ekspor menurun 13,1 persen secara year on year, sementara penurunan impor lebih lambat, yaitu 6,58 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit akumulasi Januari hingga April 2019 tercatat senilai 2,56 miliar dolar AS. Total tersebut didapatkan dari migas yang mengalami defisit 2,7 miliar dolar AS karena hasil minyak alami mengalami defisit lumayan dalam.