Rabu 15 May 2019 18:47 WIB

Iran Resmi Keluar dari Sebagian Perjanjian Nuklir

Kini Iran tidak memiliki batasan dalam memproduksi uranium yang diperkaya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.
Foto: Reuters/ISNA/Hamid Forootan/Files
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran resmi menghentikan beberapa komitmen perjanjian nuklir 2015 yang disepakati dengan beberapa negara kekuatan dunia. Kantor berita ISNA mengatakan hal itu sesuai dengan perintah dewan keamanan nasional Iran. 

Pekan lalu, Iran sudah mengirimkan notofikasi kepada Cina, Prancis, Jerman, Rusia dan Inggris atas keputusan mereka menghentikan beberapa komitmen perjanjian nuklir. Notifikasi itu dikirimkan tepat satu tahun setelah Amerika Serikat (AS) menarik diri perjanjian itu dan mulai memberlakukan kembali sanksi ekonomi kepada Iran. 

Baca Juga

Dalam perjanjian itu Iran diizinkan untuk memproduksi uranium yang diperkaya dengan batas 300 kilogram dan memproduksi air berat dengan cadangan 130 ton. Teheran dapat mengirimkan kelebihannya ke luar negeri untuk dijual atau disimpan. 

Kepada ISNA pejabat badan atom Iran mengatakan kini Iran tidak memiliki batasan dalam memproduksi air berat dan uranium yang diperkaya. Langkah Iran tersebut tidak melanggar perjanjian nuklir. 

Tapi Iran memperingatkan jika kekuatan-kekuatan global tidak melindungi ekonomi mereka dari sanksi AS maka mereka akan mulai meningkatkan pengkayaan uranium ke level yang lebih tinggi lagi. Dalam pidatonya yang disiaran televisi nasional 8 Mei lalu Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan ia ingin melakukan negosiasi untuk membuat kesepakatan baru dengan rekan-rekan di perjanjian nuklir 2015 tapi ia menyadari situasinya sangat buruk. 

"Kami merasa perjanjian nuklir membutuhkan operasi dan pil pereda rasa sakit tahun lalu karena tidak efektif, operasi ini untuk menyelamatkan perjanjian bukan menghancurkannya," kata Rouhani kala itu seperti dilansir di Aljazirah, Rabu (15/5). 

Uni Eropa dan menteri luar negeri Jerman, Prancis, dan Inggris mengatakan mereka masih berkomitmen mematuhi perjanjian tersebut. Tapi tidak akan menerima ultimatum dari Iran. Perjanjian nuklir membatasi tingkat kemurnian uranium Iran diangka 3,67 persen, jauh di bawah di mana uranium dapat menjadi senjata yakni 90 persen juga lebih rendah 20 persen dibandingkan sebelum perjanjian. Pada hari Selasa (14/5) lalu Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan Teheran tidak ingin berperang dengan Amerika Serikat. 

"Tidak akan ada perang, bangsa Iran telah memilih jalur perlawanan, baik kami maupun mereka tidak mencari perang, mereka hal itu bukan minat mereka," kata Khamenei. 

Ia juga mengatakan Iran tidak akan bernegosiasi dengan Amerika dalam perjanjian nuklir. Pemerintah Iran menuduh orang-orang 'garis keras' di AS dan tempat lain mencoba mengatur insiden yang dapat meningkatkan ketegangan dengan Iran. 

Empat kapal yang terdiri dari dua kapal Arab Saudi, satu kapal Norwegia dan satu kapal Uni Emirate Arab rusak di pantai Uni Emirate Arab pada Ahad lalu. Pejabat-pejabat Uni Emirat Arab mengatakan hal itu sebagai sabotase yang berada di dekat pelabuhan Fujairah. 

Kejadian tersebut terjadi sekitar 140 kilometer selatan Selat Hormuz. Jalur sepertiga perdagangan minyak dunia.

"Kami berbicara tentang upaya kebijakan garis keras pemerintah AS dan juga kawasan yang memasak," kata Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Zarif usai melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri India Sushma Swaraj. 

"Kami menyuarakan keprihatinan atas kegiatan mencurigakan dan sabotase yang terjadi di wilayah kami, kami sudah mengantisipasi mereka akan melakukan aktivitas semacam ini untuk meningkatkan ketegangan," tambah Zarif.  

Pada 8 Mei lalu Zarif mengirimkan rincian teknis dan hukum berhentinya Iran mengikuti sejumlah komitmen dalam perjanjian nuklir kepada Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini. Saat itu, Iran menegaskan mereka tidak sepenuhnya keluar dari perjanjian nuklir.

Mogherini sudah menanggapi penarikan diri Iran ini. Ia mengatakan Uni Eropa akan tetap sepenuhnya mendukung perjanjian tersebut. Artinya, program nuklir Iran tetap dibatasi atau akan ada sanksinya. 

"Selalu lebih baik untuk berbicara dibandingkan tidak, terutama ketika ketegangan meningkat, (Menteri Luar Negeri AS) Mike Pompeo sudah mendengar dengan jelas dari kami hari ini, tidak hanya diri saya sendiri, tapi juga dari anggota negara Uni Eropa, kini kami hidup dalam momen yang sulit dimana sikap yang paling bertanggungjawa adalah menahan diri dengan maksimal," kata Mogherini.

Satu hari setelah Iran mengumumkan akan keluar dari beberapa komitmen perjanjian nuklir pejabat pemerintah AS mengatakan negaranya akan mengerahkan lebih banyak aset militer ke Timur Tengah. Sebab, menurut pemerintahan Presiden AS Donald Trump, ancaman dari Iran semakin menguat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement