Rabu 15 May 2019 22:51 WIB

Jacinda Ardern Apresiasi Upaya Facebook

Facebook memperketat fiturnya digunakan sebagai ajang teror seperti di Christchurch.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern saat konferensi pers terkait penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3).
Foto: EPA-EFE/Boris Jancic
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern saat konferensi pers terkait penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3).

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengapresiasi upaya Facebook yang berjanji untuk memperketat penggunaan fitur livestreaming. Dalam pertemuan antara pemimpin dunia dan eksekutif perusahaan teknologi di Paris, Prancis, Ardern mengaku senang dengan janji Facebook tersebut.

"Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tapi saya senang Facebook mengambil langkah tambahan hari ini dan saya menantikan kolaborasi jangka panjang untuk membuat media sosial lebih aman lagi," kata Ardern dalam pernyataannya, Rabu (15/5).

Baca Juga

Di Paris para pemimpin dunia dan bos teknologi membahas cara untuk menghentikan serangan teroris yang disiarkan secara langsung di media sosial dan memanipulasi sistem agar mereka tetap dapat menyebarkannya. Pertemuan ini dinamakan “Christchurch Appeal” untuk mengenang serangan teror yang menewaskan 51 orang di Selandia Baru.

Ardern mengatakan ia sendiri tidak sengaja melihat video serangan Christchurch ketika diputar secara otomatis di halaman Facebook-nya. Ardern memainkan peranan kunci dalam pertemuan ini. Ia mengatakan pertemuan tersebut sebagai 'langkah awal' yang signifikan untuk mengubah kebijakan pemerintah dan industri teknologi.

Twitter, Google, Microsoft dan beberapa perusahaan teknologi lainnya juga terlibat dalam pertemuan tersebut. Pemimpin-pemimpin negara dari Inggris, Prancis, Kanada, Irlandia, Senegal, Indonesia, Yordania dan Uni Eropa juga berpartisipasi dalam “Christchurch Appeal”.

Eksekutif dari Facebook mengatakan mereka mendukung ide Christchurch Appeal tapi detailnya yang dikerjakan harus diterima semua pihak. Advokat kebebasan berbicara dan beberapa pihak di industri teknologi menolak pembatasan baru. Mereka berpendapat kekerasan terorisme dan ekstremisme adalah masalah sosial yang tidak bisa dipecahkan teknologi.

Ardern dan tuan rumah Presiden Prancis Emmanuel Macron bersikeras masalah ini harus dipecahkan bersama-sama antara pemerintah dan perusahaan teknologi raksasa. Prancis berulang kali diteror oleh kelompok ekstremis yang merekrut anggotanya melalui media sosial dan membagikan serangan mereka di internet.

"Tentu ada orang yang akan menentangnya untuk memastikan mereka dapat mempertahankan sensitivitas komersial mereka, kami tidak butuh tahu rahasia dagang mereka, tapi kami harus tahu apa dampak penggunaan algoritma yang mungkin terjadi pada masyarakat," tambah Ardern.  

Ia menekankan pentingnya menangkal 'bahasa kode' yang digunakan ekstremis untuk menghindari deteksi pemerintah. Sebelum serangan Christchurch, kata Ardern, pemerintah menggunakan pendekatan tradisional untuk menghadapi terorisme.

"Yang belum tentu menangkap bentuk teroris seperti dialami Selandia Baru pada 15 Maret dan itu (terorisme) supremasi kulit putih," kata Ardern, dilansir dari AP.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement