REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sebanyak 17 negara, Komisi Eropa, dan delapan perusahaan teknologi besar telah menandatangani perjanjian Christchurch Call yang diluncurkan pada pertemuan G7 Digital Ministers. Christchurch Call merupakan kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan teknologi besar untuk memerangi aksi terorisme online.
Christchurch Call merupakan puncak dari kerja keras di departemen pemerintahan yang melibatkan ribuan pejabat dari berbagai negara untuk menyusun dan mengumpulkan dukungan global. Christchurch Call diluncurkan sebagai tanggapan atas serangan teror yang terjadi di dua masjid di Christchurch pada Maret lalu, dan menewaskan 51 orang. Pelaku penembakan dua masjid tersebut menyiarkan secara langsung aksi kejinya di Facebook.
"Pada akhirnya ini adalah langkah pertama tetapi langkah yang substansial. Negara dan perusahaan telah bersatu, dan itu terjadi karena mereka melihat apa yang terjadi di Christchurch dan berkomitmen untuk membuat perbedaan," ujar Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern dilansir New Zealand Herald, Kamis (16/5)
Meskipun kerangka kerja Christchurch Call bersifat sukarela, sebanyak 55 investor telah berkomitmen akan menggunakan asetnya seniliai 5 triliun dolar AS untuk mendrong perusahaan teknologi agar menindaklanjuti perjanjian tersebut. Diantaranya, termasuk 27 dana investor dari Selandia Baru, seperti the New Zealand Super Fund, Accident Compensation Corporation, the Government Superannuation Fund, the National Provident Fund and Kiwi Wealth.
"Bagian dari keterlibatan kami dengan perusahaan media sosial akan melibatkan pemantauan dan memastikan pertanggungjawaban atas komitmen Christchurch Call yang dibuat," ujar Kepala Eksekutif New Zealand Super Fund, Matt Whineray.
Peluncuran Christchurch Call tersebut dihadiri oleh pemimpin negara dari Selandia Baru, Prancis, Kanada, Indonesia, Irlandia, Yordania, Norwegia, Senegal, Inggris, dan Komisi Eropa. Sementara, negara yang tidak hadir namun tetap berkomitmen yakni Australia, Jerman, Jepang, India, Belanda, Spanyol, Swedia, Italia.
Lima perusahaan teknologi besar telah merilis komitmen, termasuk menerbitkan laporan reguler secara transparan bahwa mereka telah mendeteksi dan menghapus konten terorisme atau ekstremisme di platform mereka. Selain itu, mereka juga sepakat membentuk tim manajemen insiden untuk menanggapi konten-konten yang tidak menyenangkan.
Pemerintah dan perusahaan teknologi telah sepakat untuk mengembangkan teknologi yang mencegah pengunggahan konten-konten terorisme. Hal itu termasuk melawan akar kekerasan ekstrem, meningkatkan transparansi tentang pendeteksian dan penghapusan konten tersebut, dan meninjau model bisnis yang dapat membuat pengguna media sosial berada di jalur menuju radikalisasi. Secara signifikan, perusahaan teknologi telah berjanji untuk meninjau model bisnis mereka dan mengambil tindakan untuk menghentikan tindakan ekstremis yang dapat menyebabkan radikalisasi.
"Ini mungkin termasuk menggunakan algoritma dan proses lain untuk mengarahkan pengguna dari konten tersebut atau promosi alternatif yang kredibel, positif atau kontra-narasi," kata dokumen Christchurch Call to Action.
Dalam perjanjian Christchurch Call, semua pihak berjanji untuk berinvestasi dalam mengembangkan teknologi algoritma dalam mencegah pengunggahan konten terorisme dan ekstremisme. Pengembangan teknologi tersebut nantinya dapat langsung mendeteksi konten-konten yang mengandung terorisme, dan segera menghapusnya dari platform oline.
Beberapa jam sebelum peluncuran Christchurch Call, Facebook telah mengumumkan investasi sebesar 7,5 juta dolar untuk meningkatkan teknologinya dalam memerangi konten terorisme. Facebook bersama dengan perusahaan teknologi besar lainnya, seperti Microsoft, Twitter, Google dan Amazon merilis pernyataan bersama, yang menyatakan mereka akan menetapkan langkah konkret untuk mengatasi penyalahgunaan teknologi dalam menyebarkan konten teroris.