REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti menanggapi kasus yang menimpa sejumlah tokoh yang dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan makar. Menurutnya, pasal kasus makar digunakan terlalu berlebihan pascapemilihan umum (Pemilu) 2019.
"Sedikit-sedikit makar, saya bukan membela si A atau si B, kita sebagai warga negara yang tinggal di negara yang demokrasi itu memiliki hak dan kesempatan yang seluas luasnya untuk berbicara," ujar Ray saat dihubungi, Kamis (16/5).
Ia meminta kepada kepolisian untuk tak terlalu mudah menjatuhkan pasal kasus makar kepada seorang tokoh. Menurut Ray menjelaskan, tuduhan makar tidak dapat dijatuhkan pada seseorang hanya dari pidato atau orasinya.
"Tidak cukup pada omongan, makar itu tindakan yang pada skala tertentu dapat menjatuhkan presiden atau kekuasaan yang sah," ujar Ray.
Perlu diketahui, sejumlah tokoh telah dilaporkan ke kepolisian dalam kasus dugaan makar. Beberapa diantaranya adalah aktivis Eggi Sudjana dan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Purnawiran Kivlan Zen.
Untuk Eggi Sudjana, ia sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan makar yang dilaporkan oleh Suriyanto ke Bareskrim Polri. Status tersangka Eggi tersebut diketahui melalui surat panggilan yang dilayangkan oleh penyidik Unit V Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya kepada pihaknya.
Menurut Ray, jika hal ini terus terjadi, pasal tersebut dapat membelenggu orang yang ingin mengkritik pemerintah. Sehingga hal tersebut dapat mencederai demokrasi di Indonesia.
"Kita begitu mudah mengobral pasal-pasal itu, dan ini menambah tidak kondusif bagi penyelesailan reaksi-reaksi terhadap hasil pemilu seperti yang sekarang ini," ujar Ray.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Anugerah Rizki Akbari menilai penegak hukum tidak memahami definisi makar dan keliru memahaminya.
"Jadi ini benar-benar masalah penegak hukum tidak mengerti. Dibiarkan begitu luas, sampai akhirnya apa pun bisa masuk. Padahal hukum pidana tidak boleh begitu," ujar Anugerah Rizki Akbari, di Jakarta, Rabu.
Menurutnya, apabila aparat penegak hukum paham, mereka seharusnya tahu makna makar merupakan serangan. Karena itu, ia yakin alat bukti yang diserahkan pelapor tidak cukup untuk menjadikannya delik makar. Dengan begitu, aparat penegak hukum yang memiliki wewenang dapat menghentikan laporan masyarakat dengan dugaan makar.
"Sebenarnya masalah ini selesai ketika penegak hukum paham apa itu makar, ketika paham makar itu diartikan serangan, maka itu selesai," ujar Anugerah Rizki Akbari.
Kekeliruan tafsir tentang makar, kata ia, mencuat sejak UU Subversif dicabut pada 1999. Tetapi, perdebatan tentang makar tidak selesai dan pandangan masyarakat maupun penegak hukum sudah terbentuk, tanpa mengembalikan kepada definisi awal sebagai serangan.
Ia menekankan penting merumuskan makar sebagai serangan, sehingga pasal-pasal makar tidak dapat sembarangan digunakan untuk membunuh perbedaan pemikiran.
"Jadi makar harus betul-betul punya niat menyerang dan itu betul-betul sudah dilakukan, meski belum selesai, jadi sampai tahap permulaan pelaksanaan," ujar Anugerah Rizki Akbari.