REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Akun Twitter milik jenderal militer Myanmar, Min Aung Hlaing telah ditangguhkan, karena dia menggunakan media sosial untuk menyebarkan ujaran kebencian. Akun Twitter Hlain, @sgminaunghlaing telah offline pada pekan ini.
Hlaing juga dituduh menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda anti-Rohingya. Dia telah menghapus akun Facebook-nya pada Agustus 2018 setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar para pemimpin militer Myanmar diadili karena genosida.
Dilaporkan The Guardian, Kamis (16/5), Hlaing menggunakan media sosial untuk menyebut orang-orang Rohingya sebagai "orang Bengali". Hal itu menyiratkan bahwa orang-orang Rohingya bukan warga Myanmar, melainkan imigran. Sementara di Facebook dia membantah telah melakukan tindak kejahatan, dan mengklaim bahwa militer menargetkan para militan.
Penangguhan akun media sosial Hlaing dilakukan setelah Presiden Organisasi Rohingya Burma di Inggris, Tun Kinh bertemu dengan pejabat esekutif Twitter di Silicon Valley pekan lalu. Dalam pertemuan tersebut Khin menanyakan kenapa akun Hlaing masih tetap aktif.
"Twitter telah bergabung dengan Facebook untuk menghapus akun yang dia gunakan untuk menabur kebencian dan propaganda pertahanannya. Ini adalah kemenangan besar bagi orang-orang Rohingya," ujar Kinh.
"Min Aung Hliang adalah dalang dari genosida Rohingya. Sangat penting bahwa Twitter sekarang menindaklanjuti dalam menghapus akun lain yang digunakan oleh rezim untuk tujuan yang sama," kata Kinh menambahkan.
Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Myanmar agar memberikan akses untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke negara bagian Rakhine. Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan, Ursula Mueller mengatakan, pihak berwenang telah menolak permintaannya untuk memberikan bantuan kepada pengungsi sejak konflik terjadi di Rakhine.
"Kami membutuhkan akses yang berkelanjutan untuk menjangkau orang-orang yang membutuhkan," kata Mueller.
Rakhine telah menjadi sorotan global sejak 2017, setelah sekitar 730 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari penumpasan militer. Penyelidik PBB menyerukan agar perwira militer senior Myanmar dituntut atas tuduhan pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran. Sementara militer Myanmar membantah telah melakukan pelanggaran tersebut.