REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut kembali mengawal kepentingan Indonesia di bidang perlindungan lingkungan maritim dengan menghadiri Sidang International Maritime Organization (IMO) - Marine Environmental Protection Committee (MEPC) ke-74. Sidang ini dihelat di Kantor Pusat IMO di London, Inggris sejak Senin-Jumat (13-17/5).
Dalam agenda sidang yang diketuai oleh Mr Hideaki Saito dari Jepang ini, terdapat beberapa isu yang menjadi highlight pembahasan. Antara lain tentang pengurangan emisi gas rumah kaca dari kapal, implementasi batas kandungan sulfur pada tahun 2020, penanggulangan sampah plastik di laut, serta implementasi Konvensi Manajemen Air Ballast (BWM Convention).
Selaku perwakilan dari Ditjen Perhubungan Laut pada sidang dimaksud, Kasubdit Pencegahan Pencemarab Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, Capt Jaja Suparman mengatakan, bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak pada jalur pelayaran dunia, Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga jalur perdagangan dunia.
“Kita memiliki peran yang sangat besar dengan menyediakan 3 alur laut kepulauan dan memelihara seluruh alat bantu navigasi agar dapat berfungsi dengan baik, serta menjaga keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan maritim di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Jaja dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Jumat (17/5).
Adapun di bidang lingkungan, lanjut Jaja, Presiden Joko Widodo telah menetapkan untuk mengurangi sampah plastik di laut dari tahun 2017 hingga tahun 2025 sebesar 70 persen. Komitmen ini disampaikan langsung oleh beliau dalam beberapa kali di forum Internasional seperti Konferensi Tingkat Tinggi G20 2017 dan Our Ocean Conference ke-5 2018 di Bali.
“Untuk menindaklanjuti kebijakan Presiden ini, dalam forum Internasional yang lain, khususnya yang terkait isu perlindungan lingkungan, Pemerintah Indonesia terus mengkampanyekan kebijakan Indonesia dalam pengurangan sampah plastik di laut,” kata Jaja.
Oleh karena itulah, pada Sidang MEPC ke-74 ini, Jaja mengatakan, delegasi Indonesia menegaskan komitmen Pemerintah Indonesia dalam pengurangan sampah plastik di laut. Antara lain dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, yang menegaskan rencana aksi Indonesia untuk mengurangi sampah plastik di laut, dengan menekan hasil sampah padat hingga 30 persen dan pengurangan sampah plastik di laut sebanyak 70 persen pada 2025.
Delegasi Indonesia juga menyampaikan dukungannya terhadap Action Plan IMO to Address Marine Plastic Litter from Ships (Resolution MEPC.310(73))yang disahkan pada sidang MEPC 73 pada 2018. “Pengesahan tersebut salah satunya juga berkat peran aktif Pemerintah Indonesia, di mana pada Sidang tersebut kita mengajukan 2 (dua) dokumen usulan yang memperkaya Action Plan IMO dimaksud,” ujarnya.
Adapun partisipasi Indonesia di Working Group untuk menyusun spesifik TOR dan studi marine plastic juga timeline yang telah disusun di MEPC 74 ini dan sebagai bentuk tindaklanjut, Indonesia akan ikut serta di correspondence group untuk marine plastic.
Sedangkan terkait dengan isu implementasi pembatasan kandungan sulfur hingga 0,5 persen pada 2020, Jaja menyampaikan, Indonesia telah menyampaikan kesiapan Indonesia untuk menyediakan bahan bakar kapal dengan kadar sulfur 0,5 persen di 2 (dua) Pelabuhan Utama di Indonesia.
“Kita targetkan bagi pelabuhan-pelabuhan lainnya untuk segera menyusul setelah tahun 2020,” imbuh Jaja.
Menurut Jaja, peran Indonesia dalam pengurangan gas rumah kaca tercermin melalui banyaknya kebijakan Indonesia dalam hal perlindungan lingkungan. Indonesia aktif mendukung langkah IMO dalam pembentukan Kajian ke-4 pengurangan emisi gas rumah kaca dari kapal, yang telah dibahas sejak MEPC ke-72 tahun 2017.
Selain itu, Indonesia juga selalu berperan aktif di United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC). Pada akhir 2016, Indonesia juga telah mengikatkan diri menjadi anggota Paris Agreement dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.
“Contoh nyata kebijakan Pemerintah Indonesia adalah beroperasinya Terminal Teluk Lamong, yang telah menerapkan teknologi ramah lingkungan, daur ulang bahan, dan sistem manajemen limbah yang sadar lingkungan,” ungkap Jaja.
Adapun terkait isu Konvensi Manajemen Air Ballas, menurut Jaja, sebagai negara anggota Ballast Water Management Convention, Indonesia secara terus menerus telah mengembangkan pengaturan air ballas kapal, yang bisa memindahkan organisme air yang invasif dan berbahaya ke wilayah perairan yang rentan, yang ekonomis, efektif dan dapat diiplementasikan secara praktis di lapangan.
Pada sidang tersebut, Delegasi Indonesia terdiri dari perwakilan Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator bidang Maritim, Indonesian National Ship Association (INSA) dan KBRI London.