REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mencatat, aliran modal asing yang keluar dari Indonesia atau outflow mencapai Rp 11,3 triliun (nett jual) dari Senin (13/5) hingga Kamis (16/5). Dari total tersebut, sebanyak Rp 7,6 triliun di antaranya adalah Surat Berharga Negara dan sekitar Rp 4 triliun saham.
Outflow ini sebagai dampak dari kondisi ekonomi global yang serba tidak pasti, terutama di pasar keuangan. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pada umumnya, investor yang mengeluarkan modal asing tersebut adalah investor jangka pendek atau trader. Rata-rata di antara mereka baru memasukkan modal pada awal tahun.
"Lalu, selama dua pekan, mereka mengeluarkannya untuk merespon ketidakpastian pasar keuangan di global," tuturnya ketika ditemui di Komplek BI, Jakarta, Jumat (17/5).
Perry menjelaskan, ketidakpastian pasar keuangan global terus meningkat seiring dengan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang saling lempar mengenakan tarif tambahan. Hal ini berdampak pada peralihan modal yang semula masuk ke pasar berkembang seperti Indonesia, justru kembali ke negara maju.
Kondisi outflow tersebut tak pelak memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Tapi, Perry menegaskan, BI selalu berada di pasar untuk melakukan langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dengan intervensi ganda. "Baik melalui pasar valas di spot maupun Domestic Non Delivery Forward (DNDF), demikian juga dengan pembelian SBN dari pasar sekunder," katanya.
Dalam catatan terakhir Perry, selama 10 tahun terakhir, SBN naik di titik 8,02 persen, sedangkan yield treasury 10 tahun berada di titik 2,39 persen.
Selain berada di pasar, Perry memastikan, BI terus melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah. Khususnya, dalam memastikan prospek ekonomi ke depan agar lebih baik. Di antaranya dalam mendorong ekspor, industri pariwisata dan investasi swasta dalam negeri.
Perry juga mengatakan, likuiditas perbankan kini berada dalam kondisi cukup dan tidak terjadi masalah di dalamnya. Salah satu indikatornya adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) berada di level 21,1 persen yang terus meningkat sejak kuartal keempat 2018. "Kami juga terus melakukan strategi operasi moneter untuk memastikan likuiditas itu cukup," tuturnya.
Terlepas dari itu, Perry berharap agar perang dagang AS dengan China dapat mencapai titik terang melalui berbagai perundingan. Termasuk saat pertemuan kedua negara dalam konferensi G20 Leaders Meeting di Osaka pada 22 Juni mendatang.