REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung
Sejujurnya, setiap kali mendengar ungkapan khairu ummah (umat terbaik), pikiran kita akan terbang melayang jauh ke masa silam. Tiada lain, kecuali membayangkan sebuah kehidupan yang berkeadaban semasa hidup baginda Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah menanamkan akidah tauhid yang menghunjam ke lubuk hati kaum beriman. Mendidik kader pemimpin yang penuh kesungguhan. Keberanian dalam menegakkan nilai kebenaran. Menumbuhkan adab yang menghiasi kepribadian. Semua upaya itulah yang telah melahirkan generasi terbaik di Madinah al-Munawwarah.
"Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang hidup pada masaku (shahabat), kemudian orang-orang pada masa berikutnya (tabiin), kemudian orang-orang pada masa berikutnya (tabiut tabiin). Setelah itu, akan datang orang-orang yang memberikan kesaksian, padahal mereka tidak diminta kesaksian. Mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya. Mereka bernazar tapi tidak melaksanakannya dan di antara mereka tampak gemuk" (HR Bukhari).
Pesan tersebut terkait erat dengan firman Allah SWT, "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ..." (QS Ali Imran [3]: 110). Ungkapan ini bukan semata sanjungan, melain kan tantangan. Bukan pula utopia. Namun, apakah ia permanen atau bisa lenyap tak berbekas? Sebenar nya, ia "menjadi" bukan "dimiliki". Artinya, menjadi umat terbaik itu adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan yang tak pernah henti.
Jika tidak diperjuangkan, ia akan hilang ditelan zaman dan perubahan. Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al- Misbah menyebutkan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk meraih kedudukan sebaik-baik umat, yaitu amar makruf, nahi mungkar, dan berpegang teguh pada ajaran Allah.
Buya Hamka dalam Tafsir al- Azhar menegaskan, ayat ini hendak lah dibaca dari bawah, yakni beriman kepada Allah, itulah permulaan kebe basan jiwa. Berani melarang yang mungkar, itulah akibat pertama iman kepada Allah. Berani menyuruh manusia kepada yang mak ruf, itulah tugas hidup. Jika belum sang gup untuk seluruh dunia, mulai lah da lam nega ra sendiri. Jika belum sang gup untuk negara, mulailah di kampung halaman. Jika belum sang gup di ru mah tangga, mulailah dari diri sendiri.
Untuk meraih kedudukan itu, mesti dengan kekuatan dakwah kolektif dan mumpuni (QS Ali Imran [3]: 104). Buya Hamka mengingatkan, selama amar makruf dan nahi mungkar masih ada, itulah alamat bahwa umat ini masih bernapas. Dan kalau telah lindap, tanda nyawanya telah Senin-Kamis. Kalau tidak ada lagi, tandanya umat ini telah mati, walaupun bangkai masih ada.
Kewajiban dakwah terekam dalam pesan Nabi SAW. "Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah dengan tangan nya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR Muslim). Jika kita enggan menjalankan dakwah ini, kita bukan lagi menjadi umat terbaik, melainkan seburukburuk umat. Naudzubillahi min dzalik. Allahu a'lam bishawab.