REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Hai Abu Hurairah! Singkirkanlah duri dari jalan yang akan dilalui orang yang lebih mulia darimu, lebih kecil darimu, lebih baik darimu, dan bahkan orang yang lebih buruk darimu.
Jika engkau berbuat demikian, niscaya Allah membanggakan engkau kepada para malaikat-Nya. Dan barangsiapa dibanggakan Allah kepada para malaikat-Nya, niscaya ia muncul pada Hari Kiamat dalam keadaan aman dari segala yang buruk." Demikian suatu hadis Nabi Muhammad SAW.
Sungguh sederhana pesan yang disampaikan: menyingkirkan duri dari jalan. Akankah kita umatnya memahaminya secara harfiah? Islam bukan agama yang hanya dipahami secara harfiah. Sebab, apalah makna duri? Hanya sebuah benda kecil, yang ada kalanya tak terlihat oleh yang berlalu-lalang. Apalagi bila yang berlalu-lalang beralas kaki, tentu tak membahayakannya.
Di sinilah keagungan agama Islam dalam menetapkan peraturan dan hukum. Ayat-ayat al-Quran dan Hadits, tak semuanya harus ditafsirkan secara harfiah. Sebagai misal, tentang kasus mengambil hak orang lain, cukup ada satu ayat pencurian. Kalau diartikan secara harfiah, berbagai kejahatan krah putih, seperti kejahatan penggelapan, penipuan, dan sebagainya, tentu tak termasuk pencurian.
Karena itu, menyingkirkan duri tadi harus diartikan sebagai aba-aba untuk dilaksanakan hamba-Nya menurut situasi dan kondisi. Dengan begitu, yang dimaksud duri di sini, adalah segala sesuatu yang mungkin menyusahkan 'orang lain', baik fisik atau nonfisik.
Orang lain di sini, Rasulullah SAW menyebut, bisa orang yang lebih mulia dan lebik baik dari kita, tapi juga bisa orang yang lebih rendah dan bahkan lebih buruk dari kita. Ini, karena orang yang baik, mulia, dan bahkan orang yang mempunyai posisi yang kuat, bukan mustahil pada saat tertentu terancam musibah. Dan pada saat itulah, kita dituntut untuk ikhlas membantu menyelamatkannya.
Sementara, untuk membantu orang kecil, di antaranya bisa saja berbentuk ikatan kerja antara karyawan dan majikan. Dalam hal ini, majikan bisa membantu untuk lebih mensejahterakan karyawannya, sementara para karyawan harus pula lebih meningkatkan produksi kerjanya.
Masihkah ada ajakan yang lebih luhur dan mulia dari itu? Mungkin di antara kita pernah terjadi sengketa yang kemudian berbuntut dendam. Dalam hal ini, Rasulullah melarang kita memasang duri di jalan yang akan dilalui sebagai pelampiasan dendam kita. Kita dilarang pasang 'kuda-kuda' untuk mencelakakan sesama, walaupun kita membenci terhadapnya.