REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang promo yang membuat kebijakan tarif ojek online (Ojol) seolah tidak berlaku kian meresahkan. Kekhawatiran juga ikut dirasakan perusahaan aplikator baru yang masuk dalam industri ini.
“Tarif promo besar-besaran pada dasarnya tidak baik untuk mendewasakan pasar. User (konsumen) dimanjakan dengan harga murah sehingga ke depan tidak bagus. Ini akan menjadi predatory pricing yang dampaknya saling membunuh,” ujar CEO Bonceng Faiz Noval, Sabtu (18/5).
Bonceng yang merupakan salah satu pelaku di industri ride-hailing Indonesia turut berharap terciptanya iklim bisnis yang sehat. Dengan begitu peluang berkompetisi dan bertumbuh dalam jangka panjang semakin terbuka.
Namun gencarnya tarif promo ojol seperti dilakukan salah satu provider saat ini, menurut Faiz, berpotensi besar memicu persaingan tidak sehat di bisnis transportasi online. Jika pemain besar dengan modal kuat saja bisa terdampak, apalagi pelaku berskala usaha lebih kecil.
Maka Faiz berharap pemerintah membatasi tarif promo yang dilakukan oleh aplikator. Intervensi tersebut perlu dilakukan regulator salah satunya supaya penetapan tarif ojol melalui Permenhub 12/2019 tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
“Pemerintah mesti melihat ini dari sisi aturan. Tarif promo dilakukan untuk membatasi tarif promo pada minimal angka yang telah ditentukan oleh pemerintah. Kalau tidak maka aturan tarif tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya,” dia menjelaskan.
Faiz beranggapan perang tarif promo secara jor-joran kali ini tak lain hanya sebuah ambisi untuk mendominasi pasar. Ia khawatir jika tarif promo besar-besaran tidak segera diatur maka hanya akan menciptakan monopoli pasar.
“Apabila aksi ini terus dilakukan maka akan saling mematikan. Kalau kompetitor semuanya mati maka hanya akan ada satu pemain yang menguasai pasar sehingga harga tidak bisa dikontrol,” Faiz mengingatkan.