REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Merupakan pemandangan yang jamak di era modern ini, seorang wanita bekerja atau berkarier di luar rumah. Bekerja menuntut para wanita meninggalkan rumah dan anak-anak mereka hingga berjam-jam.
Pulang larut malam karena bekerja juga bukan hal aneh lagi. Bahkan, tak sedikit wanita bekerja di ‘dunia’ laki-laki. Sebut saja misalnya, menjadi pilot, sopir, atau kernet bus. Di beberapa tempat, bahkan ada wanita menjadi tukang becak.
Maka muncullah pertanyaan, bagaimana sejatinya pandangan Islam tentang hal ini?
Kitab al-Mawsu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah menjelaskan, tugas utama seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dan keluarga termasuk mendidik anak-anak. Berbakti kepada suami termasuk pula tugas utama seorang wanita.
Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya.” (HR al-Bukhari). Dalam hal ini, perempuan tidak dituntut memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri karena sudah merupakan kewajiban ayah atau suaminya. Karena itu, wilayah kerja perempuan hanya di rumah.
“Meski demikian, Islam tidak melarang perempuan bekerja,” kata Dr Abd al-Qadir Manshur, guru besar ilmu Alquran Universitas Sayf al-Dawlah, dalam buku Buku Pintar Fikih Wanita.
Menurut Manshur, mereka boleh melakukan jual beli atau usaha dengan harta benda pribadinya. Tidak seorang pun boleh melarang mereka selama mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan agama. Atas dasar ini, mereka diperbolehkan memperlihatkan wajah saat melakukan transaksi jual-beli atau kedua telapak tangan mereka ketika memilih, mengambil, dan memberikan barang dagangan.
Menurut Manshur, banyak teks-teks hadis dan pendapat ulama yang memperbolehkan wanita bekerja. Intinya, seorang Muslimah boleh bekerja jika mendapat izin dari suami. Hak memberi izin yang dimiliki suami ini gugur dengan sendirinya jika suami tidak memberi nafkah pada istrinya.
Meski boleh bekerja, tak sembarang pekerjaan boleh dilakukan seorang Muslimah. Dalam hal ini, seperti disebutkan dalam al-Mawsu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah ada beberapa kriteria pekerjaan di luar rumah yang boleh dilakukan perempuan. Pertama, tidak termasuk perbuatan maksiat dan tidak mencoreng kehormatan keluarga.
Kedua, tidak mengharuskan dirinya berduaan (khalwat) dengan laki-laki bukan muhrimnya. Dalam Bada’i al-Shana’i disebutkan, Imam Abu Hanifah mengharamkan pekerjaan asisten pribadi bagi perempuan. Hal itu mengingat fitnah yang mungkin timbul ketika dia berduaan dengan atasannya yang seorang laki-laki bukan muhrimnya. Pendapat yang sama dikemukakan Abu Yusuf dan Imam Muhammad.
Berduaan dengan laki-laki bukan muhrimnya termasuk perbuatan maksiat, di samping memungkinkan terjadinya kemaksiatan. Seperti sabda Rasulullah: “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali setan menjadi pihak ketiganya.” (HR al-Thabrani dan al-Hakim).
Ketiga, tidak mengharuskan dirinya berdandan berlebihan dan membuka auratnya ketika keluar rumah. Larangan ini sejalan dengan firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 33: “Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu.” Begitu pula dalam surah al-Nur ayat 31: “Dan, janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang biasa terlihat.”
Sementara itu, dalam sebuah hadis disebutkan: “Wanita yang menyeret ekor kainnya, berjalan lenggak-lenggok, dan berdandan bukan untuk suaminya adalah seperti kegelapan hari kiamat yang tak memiliki cahaya sedikit pun.” (HR al-Tirmidzi dari Maimunah bint Sa’ad).