REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program optimalisasi lahan rawa Kementerian Pertanian (Kementan) yang dimulai pada November 2018 lalu baru mencapai realisasi tanam seluas 30 ribu hektare. Padahal, target realisasi tanam lahan rawa hingga akhir 2019 seluas 500 ribu hektare.
Berdasarkan catatan Kementan, program optimalisasi lahan rawa (Serasi) dilaksanakan untuk meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas yang dilaksanakan di tiga wilayah, yakni Sumatera Selatan dengan target 220 ribu hektare, Kalimantan Selatan 153.363 hektare, dan Sulawesi Selatan seluas 33.505 hektare.
Direktur Jenderal Prasarana Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy mengatakan, minimnya realisasi tanam disebabkan waktu pelaksanaan tanam yang terlambat. Dia menjelaskan, realisasi tanam baru dimulai di pertengahan Maret. Belum lagi, dia mengatakan terdapat kendala lainnya berupa penolakan dari petani.
“Jadi memang agak sedikit terlambat masa tanamnya, dan ada kendala-kendala lapangan lainnya,” kata Edhy saat ditemui di Gedung D Kementan, Jakarta, Selasa (21/5).
Lebih lanjut dia menyebut, desa yang tidak mau dikeruk lahannya untuk dibuat jaringan tersier maka akan dicoret dari jumlah target optimalisasi. Adanya penolakan dari petani, kata dia, sebab petani tidak ingin sebagian lahannya terpotong jaringan irigasi. Sebagaimana diketahui, jaringan irigasi merupakan kunci realisasi sukses tidaknya program lahan rawa.
Dia menyebut, biaya optimalisasi lahan rawa berjumlah Rp 4,5 juta per hektare meliputi biaya rehabilitasi jaringan tersier, meninggikan tanggul, membuat pintu-pintu pompa air, serta pengadaan pompa. Guna menggenjot realisasi tanam lahan rawa tersebut, Kementan menggandeng TNI-AD dalam melakukan pendampingan proses pengerjaan fisik oleh petani di lapangan.
“Kalau TNI itu kan pendekatannya soft, lebih masuk ke masyarakat,” kata dia.