REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Para pengusaha Palestina menolah konferensi ekonomi yang diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS) di Bahrain. Mereka menilai, konferensi tersebut dapat menjadi ujung tombak perdamaian Timur Tengah seperti yang direncakana oleh Presiden AS Donald Trump.
AS mengimbau para pemimpin Palestina dan Arab untuk datang ke pertemuan 25-26 Juni di Bahrain. Para pengusaha Palestina bersama dengan para politikus mengatakan, tuntutan politik mereka harus ditangani untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Ketua asosiasi bisnis Paltrade di Tepi Barat dan Gaza, Arafat Asfour mengatakan, masih ada beberapa masalah politik yang belum terselesaikan. Misalnya saja pembatasan Israel atas pergerakan barang dan orang di wilayah pendudukan, yang telah lama menghalangi investasi asing.
“Bagaimana (dapatkah Anda) mengharapkan orang berinvestasi di Palestina jika mereka tidak memiliki akses? Jika mereka tidak memiliki kontrol, jika mereka tidak memiliki kerangka hukum, lingkungan bisnis, untuk melindungi bisnis mereka?" ujar Asfour, Rabu (22/5).
CEO Safad, sebuah perusahaan IT yang berbasis di Ramallah, Ibrahim Barham mengatakan, mereka telah memihak Israel dari sisi politik. Sementara, mereka ingin berbicara dengan Palestina hanya untuk masalah ekonomi.
"Itu bukan cara yang tepat," kata Barham.
Otoritas Palestina (PA) dan Organisasi Pembebasan Palestina telah menolak inisiatif Bahrain. Penolakan tersebut menyusul setelah satu setengah tahun mereka menolak untuk berurusan dengan administrasi Trump karena dinilai bias terhadap Israel. Direktur Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina, Pollster Khalil Shikaki mengatakan, hampir 80 persen warga Palestina percaya rencana Trump tidak akan mengakhiri pendudukan Israel di Tepi Barat.
"Bukannya orang-orang Palestina atau pemimpin bisnis tidak tertarik untuk memperbaiki kondisi ekonomi orang-orang Palestina. Ini kekhawatiran bahwa apa yang orang Amerika coba lakukan adalah memberi rakyat Palestina pilihan antara hak politik mereka atau hak ekonomi mereka. Mereka menginginkan keduanya, dan mereka tidak mau melakukan trade off," kata Shikaki.