REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Deep Water Development (IDD) yang rencananya akan dikembangkan oleh Chveron masih menjajaki tahap negoisasi dengan pemerintah melalui SKK Migas. Saat ini kedua belah pihak masih melakukan negoisasi persoalan keekonomian proyek.
Senior Vice Presiden Policy Goverment and Public Affairs Chevron Pasific Indonesia, Wahyu Budiarto menjelaskan saat ini Chevron dan SKK Migas masih melakukan diskusi soal keekonomian proyek IDD. Wahyu menjelaskan ada persoalan cara pandang yang berbeda dalam melihat keekonomian proyek.
"Bahwa yang kami anggap ekonomik, belum tentu ekonomik buat negara. Apa yang menurut negara cukup untuk kontraktor belum tentu cukup buat kami. Jadi ini masih jalan," ujar Wahyu, Rabu (22/5).
Wahyu menjelaskan dalam prosesnya meski memang diakui agak alot dalam membahas keekonomian proyek ini, namun dibandingkan pada pertemuan dan negoisasi sebelumnya, negoisasi tentang proyek IDD ini sudah lebih maju.
"Kontraktor tentu saja kita juga musti sepakat dengan negara. Kesepakatan dimana kedua belah pihak melihat hal yang sama. Agak alot. Tapi progressnya sih sudah bagus," ujar Wahyu.
Disatu sisi, pekan lalu, persoalan diskusi mengenai keekonomian ini diamini oleh SKK Migas. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan pihaknya dan Chevron Pacific Indonesia belum mencapai kesepakatan terkait bagi hasil (split) di proyek tersebut.
Dwi mengatakan Chevron akan menggunakan skema gross split untuk Proyek IDD tahap II yang mencakup lapangan Gendalo di Blok Ganal dan Lapangan Gehem di Blok Rapak.
Meski masih melalui proses negoisasi, namun Dwi mentargetkan dalam waktu dekat kedua belah pihak akan mendapatkan kesepakatan. Ia menargetkan hitungan bagi hasil bisa disepakati pada Semester I 2019.
Menurutnya, SKK Migas dan Chevron sudah sepakat terkait biaya pengembangan IDD tahap kedua. "Ini tahap finalisasi karena development cost-nya sudah bisa diterima," kata Dwi.